NEW PROMO

KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOBA DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pada era globalisasi ini masyarakat lambat laun berkembang, dimana perkembangan itu selalu diikuti proses penyesuaian diri yang kadang-kadang proses tersebut terjadi secara tidak seimbang. Masyarakat berusaha mengadakan pembaharuan-pembaharuan disegala bidang. Namun kemajuan teknologi tidak selalu berdampak positif, bahkan ada kalanya berdampak negatif. Maksudnya adalah dengan kemajuan teknologi juga ada peningkatan masalah kejahatan dengan menggunakan modus operandi yang canggih. Hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mampu menciptakan penanggulangannya, khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang.
Akhir-akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat penegak hukum di harapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa.
Penyalahgunaan narkoba berkaitan erat dengan peredaran gelap sebagai bagian dari dunia tindak pidana internasional. Mafia perdagangan gelap memasok narkoba agar orang memiliki ketergantungan sehingga jumlah supply meningkat. Terjalinnya hubungan antara pengedar/bandar dengan korban membuat korban sulit melepaskan diri dari pengedar/bandar, bahkan tidak jarang korban juga terlibat peredaran gelap karena meningkatnya kebutuhan dan ketergantungan mereka akan narkoba.[1]
Dalam usaha untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pemerintah telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 (Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988) dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 (Covention on Psychotropic Subtances 1971) dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika. Kemudian tahun 1997 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang No. 9 Tahun 1976 Tentang narkotika.
Kedua undang-undang tersebut ( UU No. 5 Tahun 1997 dan UU No. 22 Tahun 1997) pada pokoknya mengatur psikotropika dan narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. Sehingga diharapkan kedua Undang-undang tersebut dapat berjalan lebih efektif guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan psikotropika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dijadikan sebagai ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkoba dan psikotropika.
Penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah sampai pada titik yang menghawatirkan. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional, jumlah kasus narkoba meningkat dari sebanyak 3. 478 kasus pada tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004, atau meningkat 28,9% pertahun. Jumlah angka tindak tindak pidana narkoba pun meningkat dari 4.955 pada tahun 2000 menjadi 11.315 kasus pada tahun 2004. Data terbaru sampai juni 2005 saja menunjukkan kasus itu meningkat tajam.[2] Sekarang ini terdapat sekitar 3,2 juta pengguna narkoba di Indonesia, secara nasional dari total 111.000 tahanan, 30% karena kasus narkoba, perkara narkoba telah menembus batas gender, kelas ekonomi bahkan usia.[3]
Berdasarkan kedua peraturan itu tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkoba dan psikotropika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda. Dalam KUHP, penjatuhan dua hukuman pokok sekaligus memang tidak dimungkinkan sehingga tidak ada hukuman yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda karena KUHP hanya menghendaki salah satu pidana pokok saja. Namun demikian, sebagai tindak pidana yang bersifat khusus, maka untuk tindak pidana narkoba dan psikotropika, hakim diperbolehkan untuk menghukum terdakwa dengan dua pidana pokok sekaligus yang pada umumnya berupa pidana badan (berupa pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara) dengan tujuan agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya agar tindak pidana dapat ditanggulangi di masyarakat.
Untuk menanggulangi masalah tindak pidana narkoba diperlukan adanya suatu kebijakan hukum pidana (penal policy). Kebijakan tersebut harus dikonsentrasikan pada dua hal, pertama mengarah pada kebijakan aplikatif yaitu kebijakan tentang bagaimana menerapkan peraturan perundangundangan hukum pidana yang berlaku pada saat ini dalam rangka menangani masalah narkoba dan kedua adalah kebijakan formulatif atau kebijakan yang mengarah pada pembaharuan hukum pidana (penal law reform) yaitu kebijakan tentang bagaimana merumuskan peraturan perundang-undangan hukum pidana yang berkaitan pula dengan konsep KUHP baru khususnya dalam rangka menanggulangi tindak pidana narkoba pada masa mendatang.
Berkaitan dengan pro dan kontra yang ada di masyarakat mengenai keberadaan dan pelaksanaan hukuman mati serta dalam rangka menanggulangi tindak pidana narkoba di masa mendatang maka RUU KUHP baru mengandung pemikiran reformasi tentang pidana mati yang menetapkan bahwa :
    1. Pidana khusus/eksepsional dan tidak dapat dijatuhkan terhadap anak;
    2. Pidana mati merupakan pidana alternatif yang digunakan sangat selektif dan sebagai upaya terakhir;
    3. Upaya terakhir dijatuhkan/dilaksanakannya pidana mati melalui berbagai tahapan.[4]
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis memandang perlu untuk meneliti lebih jauh mengenai Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkoba di Indonesia, sehingga diharapkan hasil dari penelitian ini akan mampu memberikan jawaban mengenai bentuk sanksi yang paling tepat untuk diterapkan terhadap pelaku tindak pidana narkoba.

B.     Permasalahan
Dari uraian di atas dan sesuai dengan judul makalah yaitu “Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkoba di Indonesia”, penulis membatasi permasalahan yang berkaitan dengan penerapan UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.
Adapun permasalahan yang akan dikaji yaitu:
  1. Bagaimanakah kebijakan formulasi sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkoba menurut ketentuan Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika dan Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika?
  2. Bagaimanakah kebijakan formulasi sanksi pidana menurut undang-undang narkoba terhadap pelaku tindak pidana narkoba pada masa yang akan datang ?
C.    Tujuan Penulisan
Secara umum penulisan ini bertujuan untuk menemukan dan menjelaskan mengenai Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak pidana Narkoba. Dari tujuan tersebut diharapkan hasilnya dapat digunakan untuk mengetahui dan menganalisis;
a.       Kebijakan formulasi sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkoba menurut ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
b.      Kebijakan formulasi sanksi pidana menurut undang-undang narkoba terhadap pelaku tindak pidana narkoba pada masa yang akan datang.

D.    Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan ini diantaranya yaitu:
Bab I yaitu pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II, yaitu tinjauan yuridis tentang sanksi pidana yang meliputi pengertian pidana dan sanksi pidana, jenis-jenis sanksi pidana, tujuan pemidanaan, narkoba dalam pengaturan perundang-undangan indonesia, jenis narkoba yang sering disalahgunakan, narkoba dalam hukum pidana.
Bab III, yaitu kebijakan formulasi sanksi terhadap tindak pidana narkoba yang terdiri atas kebijakan formulasi sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkoba menurut ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan kebijakan formulasi sanksi pidana dalam undang-undang narkoba terhadap pelaku tindak pidana narkoba di masa yang akan datang.
Bab IV, yaitu penutup yang menguraikan kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN YURIDIS TENTANG SANKSI PIDANA
A.    Pengertian Pidana dan Sanksi Pidana
Sejatinya ”pidana” hanyalah sebuah “alat “ yaitu alat untuk mencapai tujuan pemidanaan.[5] Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman.
Mardjono Reksodiputro, menjelaskan bahwa tindak pidana sama sekali tidak dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan hanya dapat dihapuskan sampai pada batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara sempurna. Disamping itu, manusia juga cenderung memiliki kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan tidak mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul berbagai pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak pidana juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada ketertiban sosial. Dengan demikian sebelum menggunakan pidana sebagai alat, diperlukan permahaman terhadap alat itu sendiri.[6]
Bila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat beragam. R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang hukum pidana.[7]
Menurut Moeljatno, istilah “hukuman” yang berasal dari kata “Straf” merupakan istilah-istilah yang konvensional. Dalam hal ini beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang in konvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf”. Moeljatno mengungkapkan jika “straf” diartikan “hukum” maka strafrechts” seharusnya diartikan “hukum hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti” diterapi hukum”, baik hukum pidana maupun hukum perdata.[8]

B.     Jenis-jenis Sanksi Pidana
Dalam Pasal 10 KUHP dikenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok yang terdiri dari:
(1)   Pidana mati;
(2)   Pidana penjara;
(3)   Pidana kurungan;
(4)   Pidana denda ( oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 ditambah dengan pidana tutupan).
Adapun pidana tambahan terdiri dari :
(1)   Pencabutan hak-hak tertentu,
(2)   Perampasan barang-barang tertentu dan
(3)   Pengumuman putusan hakim.
Jenis-jenis pidana seperti yang termuat didalam Pasal 10 KUHP telah dirumuskan dengan tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang ada pada saat KUHP dibentuk. Dengan demikian memang tidak berlebihan jika dalam penyusunan rancangan KUHP baru Indonesia yang akan menggantikan KUHP yang berasal dari WvS, perlu dilakukan peninjauan ulang mengenai jenis pidana untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi yang berkembang saat ini. Salah satu macam dari jenis pidana pokok yang perlu mendapat perhatian adalah pidana mati yang sudah sejak lama selalu menjadi kontroversi.

C.    Narkoba dalam Pengaturan Perundang-undangan Indonesia
Narkoba atau Narkotika dan Obat (bahan berbahaya) merupakan istilah yang sering kali digunakan oleh penegak hokum dan masyarakat. Narkoba dikatakan sebagai bahan berbahaya bukan hanya karena terbuat dari bahan kimia tetapi juga karena sifatnya yang dapat membahayakan penggunanya bila digunakan secara bertentangan atau melawan hukum. Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif adalah istilah kedokteran untuk sekelompok zat yang jika masuk kedalam tubuh manusia dapat menyebabkan ketergantungan (adiktif) dan mempengaruhi system kerja otak (psikoaktif).
Narkoba atau lebih tepatnya Napza adalah obat, bahan dan zat yang bukan termasuk jenis makanan. Oleh sebab itu jika kelompok zat ini dikonsumsi oleh manusia baik dengan cara dihirup, dihisap, ditelan, atau disuntikkan maka ia akan mempengaruhi susunan saraf pusat (otak) dan akan menyebabkan ketergantungan. Akibatnya, system kerja otak dan fungsi vital organ tubuh lain seperti jantung, pernafasan, peredaran darah dan lain-lain akan berubah meningkat pada saat mengkonsumsi dan akan menurun pada saat tidak dikonsumsi (menjadi tidak teratur).[9]
M. Ridha Ma’roef menyebutkan bahwa narkotika ada dua macam yaitu narkotika alam dan narkotika sintetis. Yang termasuk dalam kategori narkotika alam adalah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan cocaine. Narkotika ala mini termasuk dalam pengertian narkotika secara sempit sedangkan narkotika sitetis adalah  pengertian narkotika secara luas dan termasuk didalamnya adalah Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.[10]
Tindak Pidana di bidang narkotika diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 100 UU No. 22 Tahun 1997 yang merupakan ketentuan khusus. Walaupun di dalam Undang-undang Narkotika ini tidak disebutkan secara jelas bahwa semua tindak pidana yang diatur didalamnya merupakan tindak pidana, hal ini disebabkan karena narkotika hanya ditujukan untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Maka diluar kepentingankepentingan tersebut dapat dipastikan sudah merupakan tindak pidana mengingat bahaya yang besar yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkoba.
Undang-undang No. 22 Tahun 1997 ini juga mengenal ancaman pidana minimal, namun ancaman pidana minimal ini hanya dimaksudkan sebagai pemberatan hukuman saja dan bukan untuk dikenakan pada perbuatan pokoknya. Ancaman pidana minimal hanya dapat dikenakan apabila tindak pidananya berupa: didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh korporasi.
Hal ini berbeda dengan Undang-undang Psikotropika, dimana ancaman pidana minimal justru dikenakan pada perbuatan pokoknya sedangkan pemberatan hukuman diperuntukkan kepada tindak pidana yang dilakukan secara terorganisir maupun dengan permufakatan jahat tidak ada ancaman minimal pidananya. Berdasarkan ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XII Undang-undang Narkotika dapat dikelompokkan dari segi perbuatannya sebagai berikut :
a.       Tindak pidana yang menyangkut produksi narkotika;
b.      Jual beli narkotika;
c.       Pengangkutan dan transito narkotikan;
d.      Penguasaan narkotika;
e.       Penyalahgunaan narkotika;
f.       Tidak melaporkan kecanduan narkotika;
g.      Label dan publikasi narkotika;
h.      Jalannya peradilan narkotika;
i.        Penyitaan dan pemusnahan narkotika;
j.        Keterangan palsu;
k.      Penyimpangan fungsi lembaga














BAB III
KEBIJAKAN FOMULASI TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOBA
A.       Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkoba Menurut Ketentuan Undang-Undang No. 22 tahun 1997 Tentang Narkotika Dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Kejahatan yang berkaitan dengan narkoba dipandang sangat membahayakan bangsa dan negara, kepada pelakunya diancam dengan hukuman yangs sangat berat berupa pidana penjara dan pidana denda. Pada kejahatan narkotika ternyata ancama pidananya lebih berat dibandingkan kejahatan psikotropika, padahal narkotika tidak sampai menimbulkan sindroma ketergantungan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa zat atau narkotika golongan I mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh sebab itu penggunaannya hanya diperbolehkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan bukan untuk terapi. Penggunaan narkotika golongan I diluar kepentingan ilmu pengetahuan adalah merupakan tindak pidana, seperti:
1)      Dengan tanpa hak dan melawan hukum, menanam, memelihara, memiliki, mempunyai dalam persediaan, menyimpan dan menguasai narkotika golongan I;
2)      Dengan tanpa hak dan melawan hukum, memilikim menyimpan untuk kepentingan sendiri atau untuk persediaan atau untuk menguasai narkotika golongan I.[11]
Perlu kita ketahui bahwa narkotika hanya dapat diproduksi oleh pabrik yang memperoleh ijin khusus dari Menteri Kesehatan RI. Pengeratian produksi  adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan,  mengemas dan/atau mengubah bentuk narkotika termasuk mengekstraksi, mengkonversi atau merakit narkotika untuk memproduksi obat (termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2). Perbuatan yang berkaitan erat dengan produksi adalah mengolah, mengekstraksi, megkonversi, merakit atau menyediakan.
Terhadap pelaku kejahatan narkotika terdapat alasan-alasan tertentu untuk memberatkan hukumannya karena perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang dampaknya sangat membahayakan dan menimbulkan kerugian besar bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Tujuan dari pemberatan hukuman tersebut bukan dipandang sebagai pembalasan terhadap pelakunya, akan tetapi dimaksudkan untuk mendidik pelakunya agar menjadi sadar dan jera sehingga tidak lagi mengulangi kejahatannya.
Dalam UU Narkotika terdapat 4 (empat) alasan untuk melakukan pemberatan hukuman kepada pelaku kejahatan narkotika, yaitu:
1)      Karena perbuatannya didahului dengan permufakatan jahat;
2)      Karena dilakukan secara terorganisasi;
3)      Karena dilakukan oleh korporasi;
4)      Karena dilakukan oleh residivis.
Dalam persidangan perkara narkotika, hakim dapat menjatuhkan vonis sesuai dengan berat ringannya kesalahan sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Meskipun tindak pidana di bidang narkotika merupakan jenis tindak pidana khusus namun asas praduga tak bersalah tetap harus dijunjung tinggi mengingat terdakwa juga manusia yang memiliki hak asasi.
Ancaman pidana dalam Undang-undang Narkotika ini beragam sesuai dengan derajat tindak pidana yang dilakukan. Bentuk-bentuk pemidanaannya masih mengacu pada KUHP yakni pidana mati, seumur hidup, penjara, dan denda . Tidak berbeda dengan apa yang diuraikan dalam Undang-undang Narkotika dalam bagian ini juga akan dikutipkan secara langsung pasal-pasal yang mengancam pelaku tindak pidana dengan pidana mati.
Pidana mati masih merupakan ancaman pidana yang dianggap paling dapat memuaskan tujuan pemidanaan. Berbicara tentang sanksi pidana memang tidak dapat dipisahkan dengan tujuan pemidanaan sebagai pembalasan yang dijatuhkan negara sebagai reaksi keras terhadap perbuatan yang dilarang atau yang diperintahkan oleh undang-undang pidana, yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dan telah menimbulkan kerugian kepada pihak lain.[12]
Kebijakan tentang pidana mati yang ada di Indonesia tidak memberikan kemungkinan modifikasi/perubahan/penyesuian/peninjauan kembali putusan pemidaan yang telah berkekuatan hukum tetap yang didasarkan pada pertimbangan karena adanya perubahan/perbaikan pada diri terpidana. Sehingga kebijakan ini tidak memberikan kemungkinan terpidana mati untuk mengalami perubahan bentuk pemidanaan menjadi pidana yang lebih rendah bobotnya dari pidana mati.
Selain itu, bertolak dari teori pemidanaan integrative (Kemanusiaan dalam Sistem Pancasila), kebijakan merumuskan/menentukan tujuan pemidanana tidak dibenarkan apabila hanya berorientasi pada salah satu aspek perlindungan dengan mengabaikan aspek yang lain. Menurut teori ini, pidanaan haruslah dapat memenuhi seperangkat tujuan secara utuh, dengan catatan, tujuan manakah yang menjadi titik tekan bersifat kasuistis. Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan, tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkoba dan psikotropika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda. Jadi, jenis sanksi yang sering diterapkan terhadap pelaku tindak pidana narkoba adalah pidana mati.[13]
Mengingat tindak pidana narkoba dan psikotropika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda. Jadi, jenis sanksi yang sering diterapkan terhadap pelaku tindak pidana narkoba adalah pidana mati.


B.        Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Narkoba Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkoba Di Masa Yang Akan Datang
Dalam sistem pemidanaan di Indonesia pidana mati merupakan hukuman yang paling berat dari sekian banyak hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, karena hukuman ini menyangkut jiwa manusia. Pemberlakuan pidana mati memang selalu mengundang kontroversi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun kontroversi ini terjadi pula di sejumlah negara Eropa yang telah membatalkan pidana mati. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa pidana mati tidak sesuai dengan ajaran hukum Islam, Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Selain itu pidana mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia berdasarkan Pasal 28 A UUD 1945 perubahan kedua, Pasal 4 dan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang HAM No. 39 Tahun 1999 bahwa setiap orang bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa serta bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR bahwa setiap orang berhak untuk hidup.
Adapun hubungan pidana mati dengan pancasila, diuraikan oleh Bambang Poernomo sebagai berikut:
    1. baik dalam hal pelaksanaan pidana mati maupun pidana penjara, apabila terjadi kekeliruan putusan hakim pada kenyaatannya ternyata tidaklah mudah untuk memperbaikinya
    2. berdasarkan landasan Pancasila yang dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan hukum harus ditarik garis pemikiran kemanfaatannya demi kepentingan umumbagi masyarakat harus didahulukan, baru kemudian kepentingan individu. Manakala ada pertentangan atas dua pola kepentingan, maka memakai sandaran cara berfikir bahwa bekerjanya tertib hukum yang efesien lebih baik mulai bertolak pada kepentingan masyarakat yang menjadi dasar di atas kepentingan-kepentingan lain, dalam arti tidak terdapat ketertiban hukum, maka kepentingan yang lain tidak dapat dilaksanakan. Dan disamping itu dasar pembenaran untuk pencegahan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kejahatan adalah alasan subsociale mempunyai kepentingan umum bagi masyarakat yang mempunyai sifat lebih tinggi,
    3. dalam hal berbicara tentang budaya dan peradaban Bangsa Indonesia tidaklah mungkin berslogan melambung tinggi melampui kenyataan dan beradaban bangsa-bangsa terutama terhadap negara tetangga yang dalam kenyataannya peradabannya tidak menjadi rendah karena masih mengancam dan menjatuhkan pidana mati
    4. ilmu pengetahuan tentang tujuan hukum pidana mati dan pemidanaan tidak dapat melepaskan sama sekali alternatif pidana dari unsur-unsur yang berupa pembalasan, tujuan umum, tujuan khusus, pendidikan, menakutkan dan membinasakan bagi kejahatan-kejahatan tertentu, dimana masing-masing tujuan itu dipergunakan secara selektif dan efektif menurut keperluan sesuai denagn peristiwanya.[14]


Lebih lanjut, Bambang Poernomo mengungkapkan “Pidana mati dapat dipertanggungjawabkan dalam negara Pancasila yang diwujudkan sebagai perlindungan individu sekaligus juga melindungi masyarakat demi tercapainya keadilan dan kebenaran hukum berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[15]
Dengan demikian maka pidana mati pada hakekatnya tidak bertentangan dengan Pancasila. Namun demikian untuk dapat menegetahui apakah nilai utama yang terkandung dalam Pancasila yakni keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat tercermin dalam pidana mati maka berikut akan diuraikan tentang hal tersebut.
Dalam pelaksanaannya hukuman pidana mati kasus-kasus narkoba- yang mengacu pada KUHP dan aturan pelaksana di bawahnya tidak memungkinkan ada modifikasi hukum pidana (perubahan/penyesuaian) Bahkan banyak sekali terpidana mati narkoba yang harus menunggu bertahun-tahun tanpa ada perubahan hukuman. Orientasi kebijakan tentang pidana mati yang hanya cenderung melindungi masyarakat dengan mengabaikan perlindungan terhadap individu tidak sesuai dengan gagasan/ide monodualistik sebagai nilai dasar dalam filsafat hidup Negara Pancasila.
Upaya untuk mencari alternatif pidana mati bertolak dari suatu kenyataan bahwa di dalam perkembangannya pidana mati semakin tidak disukai baik atas pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofis pemidanaan maupun atas pertimbangan ekonomis. Berkaitan dengan penggunaan pidana mati dalam hukum pidana persoalannya juga menunjukkan arah yang sama pada penggunaan pidana pada umumnya, jadi persolannya adalah bagaimana mengoptimalkan pidana mati sebagai alat pencegah kejahatan di satu sisi dan bagaimana dampak negatifnya dapat diminimalisir. Dampak negatif tersebut terutama berkaitan dengan aspek perlindungan terhadap individu dalam pidana mati itu sendiri. Dengan demikian persoalannya terletak pada bagaimana menyumbangkan aspek perlindungan pada pidana mati, sehingga pidana mati dapat memberikan perlindungan terhadap masyarakat di satu sisi dan kepada individu di sisi lain.
Untuk Pembaharuan Hukum Pidana dalam hal penjatuhan pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkoba, putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan dalam sidang pleno tanggal 30 Oktober 2007, atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika in casu frase “pidana mati” menjadi pijakan dan tonggak bagi kesepahaman cara pandang terhadap hukuman mati di Indonesia, karena jika pro dan kontra terus menerus diwacanakan niscaya dapat mengganggu dan/ atau mempengaruhi suasana keyakinan para penegak hukum dalam mengambil putusan. penting kiranya dikutip putusan Mahkamah Konstitusi atas ketentuan pidan mati yang menyatakan;
“ Menimbang pula bahwa dengan memperhatikan sifat irrevocable pidana mati terlepas dari pendapat Mahkamah perihal tidak bertentangan pidana mati dengan UUD 1945 bagi kejahatan-kejahatan tertentu dalam undang-undang tentang narkotika yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan maupun pelaksanaan pidana mati dalam system peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguhsungguh hal berikut :
a.    Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
b.   Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakukan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun
c.    Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa
d.   Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Mengingat tindak pidana narkoba dan psikotropika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda. Dalam KUHP, penjatuhan dua hukuman pokok sekaligus memang tidak dimungkinkan sehingga tidak ada hukuman yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda karena KUHP hanya menghendaki salah satu pidana pokok saja. Namun demikian, sebagai tindak pidana yang bersifat khusus, maka untuk tindak pidana narkoba dan psikotropika, hakim diperbolehkan untuk menghukum terdakwa dengan dua pidana pokok sekaligus yang pada umumnya berupa pidana badan (berupa pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara) dengan tujuan agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya agar tindak pidana dapat ditanggulangi di masyarakat.[16]
Dalam sistem pemidanaan di Indonesia pidana mati merupakan hukuman yang paling berat dari sekian banyak hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, karena hukuman ini menyangkut jiwa manusia. Pemberlakuan pidana mati memang selalu mengundang  kontroversi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun kontroversi ini terjadi pula di sejumlah negara Eropa yang telah membatalkan pidana mati. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa pidana mati tidak sesuai dengan ajaran hukum Islam, Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Selain itu pidana mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia berdasarkan Pasal 28 A UUD 1945 perubahan kedua, Pasal 4 dan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang HAM No. 39 Tahun 1999 bahwa setiap orang bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa serta bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR bahwa setiap orang berhak untuk hidup.




















BAB IV
PENUTUP
A.       Kesimpulan
1.      Tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkoba dan psikotropika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda. Dalam KUHP, penjatuhan dua hukuman pokok sekaligus memang tidak dimungkinkan sehingga tidak ada hukuman yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda karena KUHP hanya menghendaki salah satu pidana pokok saja. Namun demikian, sebagai tindak pidana yang bersifat khusus, maka untuk tindak pidana narkoba dan psikotropika, hakim diperbolehkan untuk menghukum terdakwa dengan dua pidana pokok sekaligus yang pada umumnya berupa pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara dengan tujuan agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya agar tindak pidana dapat ditanggulangi di masyarakat. Jadi, jenis sanksi yang sering diterapkan terhadap pelaku tindak pidana narkoba adalah pidana mati.
2.      Kebijakan formulasi sanksi pidana menurut undang-undang narkoba di masa yang akan datang terhadap pelaku tindak pidana narkoba di Indonesia selaras dengan ketentuan umum yang terdapat dalam Konsep KUHP Nasional dan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi atas ketentuan pidana mati narkoba dengan Memperhatikan: Pidana mati bukan lagi merupkan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternative, Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakukan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun, Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa, Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang, yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.

B.        Saran
1.      Dengan kaidah hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Psikotropika dan Undnag-undang Narkotika, diharapkan para aparat penegak hukum dapat mengungkap seluruh pelaku kejahatan narkoba sehingga dapat diadili tanpa ada yang tersisa, karena yang diadili lebih banyak para pemakainya sednagkan pemasok atau pengedar gelap masih mengalami kesulitan untuk mengungkapkannya. Perlu diadakan peraturan pelaksana sebagai pedoman penerapan hukuman bagi pelaku tindak pidana di bidang narkotika.
2.      Untuk melindungi kepentingan negara dan masyarakat dari bahaya Narkoba, Pidana Mati masih relevan di terapkan untuk kejahatan Narkoba karena dampak dari kejahatan ini sangat luar biasa yang bisa merusak fisik dan mental generasi muda yang merupakan tunas bangsa sehingga bias mengancam ketahanan Nasional Bangsa Indonesia. Dengan demikian, kebijakan Formulasi Pidana Mati Narkoba ke depan harus sesuai dengan Pancasila sebagai landasan filosofis yang sesuai dengan Kepribadian Bangsa Indonesia.









DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Pidana Mati di Indonesia, Di Masa Lalu, Kini dan Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984
Bambang Pernomo, Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Ilmiah, Bina Aksara, Jakarta, 1982
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung, 2005
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta,2004
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana,Mandar Maju, Bandung , 2003
Lydia Harlina Martono, Satya Joewana, Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan  Keluarganya, Balai Pustaka, Jakarta, 2006
Syamsul Hidayat, Kebijakan Formulasi Pidana Mati dalam Upaya Penanggulangan Kejahatan Narkoba, Tesis, Universitas Padjajaran, 2008
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1986
Soesilo R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Politeia Bogor, 1996
UUD 1945
KUHP
Undang-Undang No. 22 tahun 1997 Tentang Narkotika
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika










[1] Lydia Harlina Martono, Satya Joewana, Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan  Keluarganya, Balai Pustaka, Jakarta, 2006. hal.1.
[2] Penelitian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia, tahun 2003 dan 2004, http/www.bnn.go.id/konten.
[3] Berita Mahkamah Konstitusi, (ed) No.19, April-Mei,2007, hal 15.
[4] Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung, 2005, Hal. 293.
[5] Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hal 83.
[6] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1986, hal. 23.
[7] R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Politeia Bogor, 1996
[8] Sudarto, Op., Cit.
[9] Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana,Mandar Maju, Bandung , 2003. Hal.35
[10] Ibid.
[11] Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta,2004, hal. 22
[12] Andi Hamzah, Pidana Mati di Indonesia, Di Masa Lalu, Kini dan Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 36
[13] Syamsul Hidayat, Kebijakan Formulasi Pidana Mati dalam Upaya Penanggulangan Kejahatan
Narkoba, Tesis, Universitas Padjajaran, 2008. hal. 117
[14] Bambang Pernomo, Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Ilmiah, Bina Aksara, Jakarta, 1982. Hal 17
[15] Ibid.
[16] Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
PT. Citra Aditya Bakti. Jakarta, 2005, hal. 293
KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOBA DI INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOBA DI INDONESIA Reviewed by thefilosofis on February 05, 2019 Rating: 5

No comments:

PROMO DISKON %

Powered by Blogger.