KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) yang telah dilakukan sebanyak empat kali, yakni
dimulai dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2003 telah membawa perubahan besar
dalam sistem kelembagaan negara. Perubahan tersebut diakibatkan adanya tujuan
reformasi dalam membatasi kewenangan Presiden yang dinilai terlalu besar pada
masa orde baru. Selain itu, guna menyusun sistem kelembagaan negara yang
berimbang, dibentuk beberapa lembaga baru yang susunan dan kedudukannya diatur
jelas dalam konstitusi.
Salah satu lembaga negara yang
direformasi akibat perubahan UUD Tahun 1945 adalah Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR). Dimana pada masa orde baru kedudukan MPR adalah sebagai lembaga
tertinggi negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Tatanan kedudukan MPR
dirubah secara drastis dengan adanya perubahan UUD Tahun 1945, dari lembaga
tertinggi negara menjadi lembaga negara yang sederajat dengan lembaga lainnya.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR) adalah lembaga legislatif
bikameral yang merupakan salah satu lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.[1]
Mengenai kedudukan MPR selaku lembaga
negara diatur dalam Pasal 2 UUD Tahun 1945 setelah perubahan. Menurut pasal
tersebut dijelaskan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
Melihat ketentuan Pasal 2 UUD Tahun
1945, MPR ditempatkan dalam lingkup kekuasaan legislative, yang merupakan
perkumpulan antara kedua lembaga yaitu DPR dan DPD. Sementara itu, kewenangan
MPR diatur secara jelas dalam Pasal 3 UUD Tahun 1945 bahwa: “(1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar”.
Merujuk pada Pasal 2 UUD Tahun 1945
disimpulkan bahwa MPR merupakan lembaga yang merupakan gabungan dari DPR dan
DPD dan ditempatkan pada kekuasaan legislative,
namun menjalankan kewenangan konstitutif sebagaimana Pasal 3 UUD Tahun
1945. Khususnya dalam menjalankan
kewangan mengubah dan menetapkan UUD Tahun 1945, mengisyaratkan bahwa MPR
merupakan lembaga yang menjalankan kewenangan konstitutif.[2]
Sebagai lembaga konstitutif, maka MPR seyogyanya dapat disebut sebagai lembaga
yang bertugas menjaga konstitusi maupun menafsirkan konstitusi. Hal tersebut
disadari akibat UUD Tahun 1945 merupakan satu-satunya produk hukum yang
ditetapkan oleh MPR.
Sementara itu terkait produk hukum
dalam kapasitas peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur lebih lanjut
dalam UU No 12 Tahun 2011, yang menyebutkan tata urutan peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU/peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Propinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota
Dalam UU
No 12 Tahun 2011 tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan
perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya, Artinya ketentuan ini memulihkan
kembali keberadaan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan
hukumnya lebih kuat dari UU. Sementara itu sebelum diberlakukannya UU No. 12
Tahun 2011, UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan tidak lagi menempatkan TAP MPR dalam jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7 UU ini dinyatakan bahwa
“Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud Ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga
dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan bahwa
status hukum tetaplah tidak jelas! Ada ambivalensi terhadap eksistensi Tap MPR.
Atas
dasar argumentasi di atas, dapat dibangun suatu kajian mengenai kedudukan Tap
MPR yang sebelum diberlakukan UU No. 12 Tahun 2011 telah dihilangkan dalam
bingkai hirarkhi peraturan perundang-undangan, dan kemudian dimunculkan kembali
dalam Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.
B.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan di atas, maka dapat ditentukan beberapa permasalahan dalam kajian
ini, diantaranya:
1. Adakah alasan utama mengapa UU No 10
Tahun 2004 digantikan denganUU No 12 Tahun 2011 ?
2. Apakah Teori Perundang-Undangan dan Judicial Review dapat menjadi jamianan
kedudukan TAP MPR ?
3. Apakah pengujian UU Terhadap TAP MPR
sesuai sistem sumber Hukum ?
BAB II
LANDASAN TEORITIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN KONSEP NORMA DAN
STUFFENBAWTHEORY
A. Landasan Teoritis
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan perlu
berpedoman pada asas-asas pembentukan peraturan yang baik dan ideal. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari kesalahan dan kecacatan dalam pembentukan norma.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menurut I.C. van der Vlies dalam
bukunya yang berjudul Handboek Wetgeving
dibagi dalam dua kelompok yaitu:
Asas-asas formil:
1) Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling),
yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan
dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
2) Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan), yakni
setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ
pembentuk peraturan perundagundagan yang berwenang; peraturan perundangundangan
tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar)
atau batal demi hukum (vanrechtswege
nieteg), bila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak berwenang;
3) Asas kedesakan pembuatan pengaturan (het noodzakelijkheidsbeginsel);
4) Asas kedapatlaksanaan (dapat
dilaksanakan) (het beginsel van
uitvoerbaarheid), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah mendapat
dukungan baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis sejak tahap
penyusunannya;
5) Asas konsensus (het beginsel van de consensus).[3]
Asas-asas materiil:
1) Asas terminologi dan sistematika yang
benar (het beginsel van duidelijke
terminologie en duidelijke systematiek);
2) Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3) Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
4) Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan
keadaan individual (het beginsel van de
individuele rechtsbedeling).[4]
Selain itu UU No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengingatkan
kepada pembentuk undang-undang agar selalu memperhatikan asas pembentukan
peraturan perundangundangan yang baik dan asas materi muatan. Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik, yang meliputi:
1) “asas kejelasan tujuan” , bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai;
2) “asas kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat” , bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
yang berwenang, Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang;
3) “asas kesesuaian antara
jenis,hierarki, dan materi muatan” , bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan;
4) “asas dapat dilaksanakan”, bahwa
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis;
6) “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”,
bahwa setiap Peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara;
7) “asas kejelasan rumusan”, bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta
bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;
8) “asas keterbukaan”, bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.[5]
Merujuk pada
tatanan hirarkhies suatu peraturan perundang-undangan, dapat dikenali dengan
menggunakan dua teori umum yaitu teori norma maupun teori stuffenbaw oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiansky. Teori Hans kelsen
yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas
yang membentuk piramida hukum (stufentheorie).
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen,
yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut
teori tersebut adalah:
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4.
Peraturan
pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung
en autonome satzung).[6]
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung)
dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm
adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu
negara.[7]
Menurut Nawiasky,
norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya
tidak disebut sebagai staatsgrundnorm
melainkan Staatsfundamentalnorm, atau
norma fundamental negara. Grundnorm
pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya
dengan cara kudeta atau revolusi.[8]
Berdasarkan teori
tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1.
Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan
Konvensi Ketatanegaraan.
3. Formell
gesetz:
Undang-Undang.
4.
Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari
Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Berdasarkan
kelasifikasi di atas, dapat ditentukan bahwa Tap. MPR merupakan bagian dari staatsgrundgesetz bersanding dengan UUD
Tahun 1945 dan konvensi ketatanegaraan. Secara sepintas dapat dilihat bahwa
kedudukan Tap. MPR sebagai produk hukum MPR setara dengan UUD Tahun 1945.
Sungguhpun dalam UU No. 12 Tahun 2011 menempatkan Tap. MPR di bawah UUD Tahun
1945.
BAB III
KEDUDUKAN KETETAPAN
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN
A.
Alasan Utama Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 Digantikan Dengan Utama
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011
Agar supaya terciptanya suatu negara
hukum maka negara membuat suatu aturan baku tentang UU tata cara dan mekaisme
pembentukan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia telah ada beberapa
regulasi mengenai pengaturan pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum, TAP MPR No. III/MPR/2000
dan disempurnakan dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Merasa aturan terdahulu belum lengkap, maka pada tanggal 12
Agustus 2011 pemerintah menetapkan UU No. 12 Tahun 2011 pengganti UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UU No. 12 Tahun 2011 memuat tentang
ketentuan baru, yakni masuknya kembali TAP MPR dalam hierarki dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri atas UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu, Peraturan
pemerintah, Perpres, Paerda Propinsi dan Perda Kabupaten.2 Dalam penjelasan UU
ini disebutkan bahwa TAP MPR yang dimaksud adalah TAP MPRS dan TAP MPR yang
masih berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 dan 4 TAP MPR No.
I/MPR/2003, yaitu TAP MPRS dan MPR sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.
Contoh TAP MPR yang masih berlaku antara lain adalah TAP MPR No. XXV/MPRS/I966
tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia dan TAP MPR No. XVI/MPR/1998
tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
UU merupakan sebuah produk politik,
berarti sangat sarat dengan muatan kepentingan dan ada kemungkinan sebuah UU
akan bertentangan dengan konstitusi atau UUD,3 ataupun sebuah peraturan yang
ada di bawah UU bisa saja bertentangan dengan UU. Berpijak dari alasa tersebut,
untuk check and balances diperlukan sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menguji
konstitusional sebuah UU ataupun Mahkamah Agung untuk menguji peraturan di
bawah UU terhadap UU. Pengujian peraturan perundangan-undangan ini biasa
disebut dengan judicial review,4 baik pengujian UU terhadap UUD ataupun
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
Sepintas memang tidak ada masalah
dengan UU No. 12 tahun 2011 tersebut, namun kalau kita cermati dengan seksama
maka akan terlihat kekosongan norma dalam hal pengujian terhadap peraturan
perundang-undangan. Walaupun mengenai mekanisme pengujian peraturan
perundang-undangan, Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa:
a. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”).
b. Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan
di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”).
Pada pasal ini tidak jelas mengenai
jika UU bertentangan dengan TAP MPR, kemana UU tersebut akan diuji, karena bisa
saja suatu UU bertentangan dengan TAP MPR yang masih berlaku. Berdasarkan latar
belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah
bagaimana pengujian UU terhadap TAP MPR yang masih berlaku.
Berikut adalah beberapa perbedaan pengaturan antara UU No.
10 Tahun 2004 dengan UU No. 12 Tahun 2011.
No
|
Perihal
|
Perbedaan
|
|
UU NO.10 TAHUN 2004
|
UU NO.12 TAHUN 2011
|
||
1.
|
Penambahan kata
|
Pasal 5: Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus
berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan
|
Pasal 5 : Dalam membentuk peraturan perundang-undangan
harus dilakukanberdasarkan pada asa pembentukan peraturan
perundang-undangan
|
2.
|
Pasal 5 Point b :
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
|
Pasal 5 Point b:
Kelembagaan ataupejabat pembentuk
yang tepat
|
|
3.
|
Pasal 5 Point c:
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan
|
Pasal 5 Point c:
Kesesuaian antara jenis, hirarki dan
materi muatan
|
|
4.
|
Pasal 6 ayat (1) :
materi muatan peraturan perundang-undangan
mengandung asas
|
Pasal 6 ayat (1):
materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkanasas
|
|
5.
|
Penggolongan pasal
|
Pasal 7 tentang jenis dan hirarki peraturan
perundang-undagnan masuk pada BAB II dan materi muatan pada BAB III
|
Pasal 7 jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan dan materi muatan pada BAB III
|
6.
|
Penambahan materi
|
Pasal 7 :
Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan
adalah sebagai berikut:
a. UUD
RI 1945
b. UU/PERPU
c. PP
d. PERPRES
e. PERDA
|
Pasal 7 :
Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan
adalah sebagai berikut:
a. UUD
RI 1945
b. TAP MPR
c. UU/PERPU
d. PP
e. PERPRES
f. PERDA PROV
g. PERDA
KAB/KOTA
|
7.
|
Penghapusan pasal
|
Pada BAB II pasal 7, ayat 2 dan 3 mengatur
tentang PERDA.
|
TELAH DIHAPUS
Pasal 7 ayat (5) dipindahkan menjadi pasl 7
ayat (2)
|
8.
|
Penggantian pasal
|
1. Pasal
9
2. Pasal
10
3. Pasal
11
|
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
|
9.
|
Penggantian dan penambahan materi
|
Pasal 14 : materi muatan mengenai ketentuan
pidana hanya dapat dimuat dalam UU dan PERDA.
|
Pasal 15:
(1) materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. UU
b. Peraturan daerah Provinsi; atau
c. peraturan daerah kab/kota
(2) ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 huruf b dan c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan atau
pidana denda paling bsnyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
|
10.
|
Penggantian dan penambahan materi
|
Pasal 8 :
Materi muatan yg harus diatur dengan UU berisi
hal-hal yang :
a. Mengatur
lebih lanjut ketentuan UUD RI 1945 yang meliputi :
1. HAM
2. Hak
dan kewajiban warga negara
3. Pelaksanaan
dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara
4. Wilayah
negara dan pembagian daerah
5. Kewarganegaraan
dan kependudukan
6. Keuangan
negara
b. Diperintahkan
oleh suatu UU untuk diatur dg UU
|
Pasal 10 :
(1) Materi
muatan yang harus diatur dengan UU berisi :
a. Pengaturan
lebih lanjut mengenai ketentuan UUD RI 1945
b. Perintah
suatu UU untuk diatur dengan UU
c. Pengesahan
perjanjian internasional tertentu
d. Tindak
lanjut atas putusan MK dan/atau
e. Pemenuhan
kebutuhan hukum dalam masyarakat
(2) Tindak
lanjut atas putusan MK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan
oleh DPR atau Presiden
(3) PerDa
prov dan PerDa Kab/kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana
denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan lainnya
|
Pasal baru
|
Belum diatur
|
Pasal 9 :
(1) Dlm hal suatu UU diduga
bertentangan dg UUD 45, pengujiannya dilakukan oleh MK
(2) Dlm hal suatu peraturan
perundang-undangan di bawah UU diduga bertentangan dg UU, pengujiannya
dilakukan oleh MA
|
|
11.
|
Penambahann pasal baru dan pemindahan pasal
|
Pasal 8 dalam BAB III mengatur tentang materi
muatan
|
Pasal 8 merupakan pasal baru, terdapat dua
ayat. Dan ayat yang kedua merupakan ayat 4 dalam pasal 7 pada UU no.10 tahun
2004.
|
B.
Teori Perundang-Undangan dan Judicial Review Dapat Menjadi Jaminan
Kedudukan TAP MPR
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai
pengujian UU terhadap TAP MPR, norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi
oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun hubungannya dengan
lingkungannya.5 Norma adalah patokan atau ukuran bagi seseorang dalam bertindak
dan bertingkah laku, norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.
Selanjutnya, seseorang menggabungkan diri dalam masyarakat untuk memenuhi
kebutuhannya atau beberapa individu yang bergabung untuk membentuk masyarakat.
Lalu masyarakat merupakan gabungan individu dan negara adalah masyarakat
politik yang terorganisir, maka di mana ada masyarakat di situ ada hukum, kata
Cicero.
Secara umum norma hukum norma hukum
berisi suruhan, larangan dan kebolehan. Kelebihan dari norma hukum adalah
karena bersifat umum dan norma hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa karena
dibuat oleh penguasa, Sudikno Mertokusumo mengemukakan, bahwa yang hanya dapat
melakukan paksaan terhadap pelanggaran terhadap norma hukum adalah penguasa,
karena penguasa memonopoli hukum, sebab hukum ada karena adanya kekuasaan yang
sah.[9]
Setiap UU yang akan diberlakukan dalam
sebuah negara harus dibuat oleh lembaga yang berwenang, yaitu lembaga
legislatif. Carl J. Friedrich mengemukakan bahwa parlemen sebagai lembaga
perwakilan rakyat maka legislasi adalah fungsi utamanya. Menurut Montesquieu,
lembaga perwakilan rakyat dibentuk untuk membuat Undang-undang, atau untuk
melihat apakah Undang-undang tersebut dijalankan semestinya,9 dan menentukan
keuangan publik. Frank J. Goodnow mengemukakan bahwa fungsi utama dalam
pemerintahan adalah fungsi politik, atau fungsi yang menyatakan keinginan
negara dan fungsi administrasi, yang berarti melaksanakan keinginan negara.[10]
Fungsi legislasi berkenaan dengan
kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan
norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Jimly Asshiddiqie berpendapat
bahwa pelaksanaan fungsi legislasi dalam pembentukan UU, menyangkut empat
bentuk kegiatan yaitu:
a. Prakarsa pembuatan Undang-undang;
b. Pembahasan draft Undang-undang;
c. Persetujuan dan pengesahan draft
Undang-undang;
d. Pemberian persetujuan atau ratifikasi
atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang
mengikat lainnya.[11]
Berdasarkan beberapa uraian di atas,
maka menurut penulis dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perundang-undangan
merupakan suatu norma atau aturan yang dibuat oleh lembaga negara yang sah
sebagai regulasi dalam suatu negara yang bersifat umum dan konkrit serta
berbentuk suruhan, larangan atau kebolehan.[12]
Kaitannya dengan norma hukum, Hans
Kelsen mengemukakan bahwa setiap aturan harus ada hierarkinya, dimulai dari
yang norma dasar dan menjadi tolak ukur validitas bagi norma yang ada di
bawahnya.[13] Menurut Kelsen, norma
yang ada dalam suatu negara bukanlah berdiri sejajar yang bersifat koordinatif,
melainkan masing-masing norma mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Di sini Kelsen menempatkan konstitusi
sebagai norma dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan yang akan dibuat,
maka UU yang ada tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Sejalan dengan
pendapat Kelsen ini, maka berlaku asas lex
superior derogat legi inferiori. Dalam hal hierarki norma tersebut, norma
dasar merupakan tempat tergantungnya norma yang ada di bawahnya.[14]
Oleh karena peraturan perundang-undangan
mempunyai hierarki, setiap aturan yang lebih rendah tentunya harus disesuaikan
dengan peraturan yang ada di atasnya, maka harus ada judicial review yaitu pengujian terhadap peraturan yang di bawah
tersebut apakah sudah sesuai atau tidak dengan aturan yang diatasnya. Judicial review dalam UUD 1945 di
Indonesia dilakukan oleh dua lembaga kehakiman, yaitu Mahkaah Konstitusi yang
menguji UU terhadap UUD 1945 dan Mahkamah Agung yang menguji peraturan
perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
C.
Pengujian Undang-Undang Terhadap TAP MPR Menurut Sistem Sumber
Hukum
Secara teoritis hierarki
perundang-undangan Indonesia berdasarkan UU No. 12 tahun 2011 terdiri atas Staatsfundamentalnorm Pancasila, verfassungnorm UUD 1945, Grundgesetznorm TAP MPRS dan MPR dan Gesetznorm
Undang-undang. UUD 1945 setelah amandemen hanya memberikan kewenangan kepada
MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden
serta memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, secara otomatis
konstitusi tidak lagi memberikan kewenangan menentukan GBHN kepada MPR dan
dengan begitu maka MPR menjadi lembaga tinggi negara yang setingkat dengan
Presiden, DPR, DPR, MA, MK dan KY dalam UUD 1945.
Sebelum menganalisis lebih jauh
mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR, akan lebih bagus kalau dilihat terlebih
dahulu posisi TAP MPR bila dipandang dari lembaga yag membuatnya. Secara
konstitusional MPR, yang meruapakan lembaga pembuat TAP MPR, bukan lagi
merupakan lembaga tertinggi negara yang di atas lembaga lainnya, melainkan sudah
setingkat dengan DPR yang juga lembaga legislatif. Berdasarkan asas bahwa UU
yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi akan berkedudukan lebih tinggi
pula, maka TAP MPR secara teoritis akan lebih cocok setara dengan UU, bukan
setingkat di atas UU.
Persoalan tidak berhenti sampai di
situ, oleh karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan produk MPR yang pada
waktu itu merupakan lembaga tertinggi negara, jelas secara otomatis aturan yang
dikeluarkannya lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan UU yang dibuat oleh
DPR bersama Presiden yang merupakan lembaga di bawah DPR. Karena TAP MPR yang
masih berlaku merupakan prodeuk dari lembaga yang pada masa penetapannya
merupakan lebih tinggi dari lembaga yang menetapkan UU maka TAP MPR tersebut
lebih tinggi dari UU dan juga mempunyai sifat regeling karena masih diberikan
wewenang oleh konstitusi. Akan tetapi berbeda untuk TAP MPR yang ditetapkan
oleh MPR yang dibentuk setelah amandemen UUD 1945, maka Ketetapannya setingkat
dengan UU dan hanya berbentuk beshicking untuk administrasi internal MPR saja.
Secara normatif UU berada di bawah TAP
MPR/S dan secara otomatis pula maka UU harus sesuai dengan TAP MPR, jika tidak
sesuai maka harus dilakukan pengujian, sayangnya mekanisme pengujian ini tidak
diatur dalam UUD 1945, UU No. 12 tahun 2011 maupun UU No. 8 tahun 2011 tentang
MK. Sebenarnya ada celah dalam melakukan pengujian tersebut, yakni jika kita
tarik dari lembaga yang membuatnya.
Berdasarkan pasal 3 ayat (1) UUD 1945,
MPR mempunyai wewenang mengubah dan menetapkan UUD. Berdasarkan pasal tersebut,
maka TAP MPR/S kalau dilihat dari lembaga yang membuatnya adalah peraturan yang
setingkat dengan UUD 1945, namun karena mengubah dan menetapkan UUD merupakan
fungsi MPR yang utama (fungsi konstituante) maka secara hierarki UUD 1945 lebih
tinggi dari TAP MPR/S. Dilihat dari lembaga yang membuatnya inilah, maka saya
lebih sepakat kalau terjadi pertentangan UU terhadap TAP MPR/S maka yang
mengujinya adalah Mahkamah Konstitusi.
Pengujian UU terhadap TAP MPR/S oleh
Mahkamah Konstitusi karena mahkamah konstitusi merupakan lembaga tempat pengujian
UU terhadap UUD 1945, karena TAP MPR dan UUD 1945 bisa dianggap setingkat
karena dibuat oleh lembaga yang sama maka pengujian UU terhadap TAP MPR/S juga
melalui Mahkamah Konstitusi. Selain itu, karena dibuat oleh lembaga yang sama,
TAP MPR/S dan UUD 1945 adalah Aturan Dasar Negara, yang membedakan keduanya
adalah prosedur perubahannya. UUD 1945 lebih rumit kalau ingin merubahnya,
sedangkan TAP MPR tidak begitu sulit.
Perdebatan pasti akan muncul jika
pengujian UU terhadap TAP MPR/S dilakukan di Mahkamah Konstitusi, karena tidak
adanya aturan yang tertulis mengenai hal ini. Secara normatif kepasyian hukum
memang benar, tapi kalau dilihat dari substansinya maka itu dapat dibenarkan,
sebab dalam permasalahan ini terjadi kekosongan hukum, maka sebuah
kebijaksanaan dapat diambil agar tercipta keadilan.
Pendapat ini bisa beralasan dari pasal
1 ayat (3) UUD 1945 yang tidak lagi memakai kata rechtstaat, berbeda dengan UUD
1945 sebelum amandemen yang dengan jelas mencantumkan kata ini, yang berarti
prosedur hukum atau UU (rechstaat) dilaksanakan demi keadilan hukum (rule of law). Mahfud MD mengatakan,
bahwa ketentuan tertulis yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan, karena
hanya merupakan cara untuk mencapai keadilan.[15]
Misalkan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dianggap beberapa
kalangan tidak sesuai dengan ekonomi kerakyatan, berarti UU tersebut
bertentangan dengan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam
Rangka Demokrasi Ekonomi.
Andaikan ada yang keberatan dengan UU ini maka pengujian
bisa dilakukan karena bertentanngan dengan TAP MPR tersebut, tapi mekanisme
pengujiannya belum ada, berarti negara dalam hal ini menelantarkan rakyat yang
ingin mencari keadilan karena merasa tidak mendapatkan keadilan akibat
berlakunya UU tersebut. Bukankah undang-undang berfungsi sebagai pengatur
masyarakat, dan persoalan mengatur masyarakat adalah bagaimana mendistribusikan
keadilan bisa diterima oleh pihak-pihak dalam masyarakat. Jika UU No. 25 Tahun
2007 tidak diterima oleh masyarakat, atau pihak yang merasa haknya dilanggar,
maka akan kemana dilakukan pengujian, sedangkan Uud 1945, UU No. 12 Tahun 2012
maupn UU MK sendiri tidak mengaturnya. Secara kepastian hukum persoalan ini
belum ada solusinya, tetapi demi menciptakan keadilan maka MK yang paling
berwenang mengujinya terhadap TAP MPR No. XVI/MPR/1998.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
analisa permasalahan yang telah dipaparkan dalam bab ketiga, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai jawaban permasalahan. Adapun kesimpulan dalam
menjawab permasalahan diantaranya yaitu:
1. Secara normatif UU berada di bawah TAP
MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun secara teoritis masih diperdebatkan. Jika
dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yang mana MPR merupakan
lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR posisinya memang lebih tinggi dari UU.
akan tetapi bila dilihat posisi MPR setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR
setingkat dan sederajat dengan DPR dan Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR
bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun
2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan pada saat MPR masih menjadi lembaga
tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih tinggi dari UU yang dibuat oleh
DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi negara.
2. TAP MPR/S sebelum amandemen UUD 1945
merupakan aturan hukum dasar di samping UUD 1945 yang memuat norma dasar dan
bersifat regeling, posisinya jelas berada diatas UU yang lebih teknis. Setelah
amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR tidak lagi menjadi aturan hukum dasar, dan
UUD 1945 adalah aturan hukum dasar
tunggal, serta bersifat beshicking bagi administrasi internal MPR saja.
3. Berdasarkan kedudukan
kelembagaan, TAP MPR
secara teoritis setingkat dengan UUD 1945, karena dibuat oleh MPR, yang
membedakannya adalah pertama, MPR mengubah dan menetapkan UUD 1945 karena
fungsinya sebagai konstituante, sedangkan dalam menetapkan TAP MPR fungsinya
hanya sebatas legislasi biasa. Kedua, prosedur amandeman UUD 1945 begitu rumit,
sedangkan perubahan TAP MPR tidak begitu sulit, yakni sama seperti UU. oleh
karena itulah TAP MPR secara hierarki berada di bawah UUD 1945. Karena
sama-sama ditetapkan oleh MPR, maka dalam judicial
review UU terhadap TAP MPR diberikan kewenangan pengujiannya kepada
Mahkamah Konstitusi. Kewenangan ini selain karena alasan UUD 1945 dan TAP MPR
sama-sama ditetapkan oleh MPR, tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum
mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR. Dalam hal ini keadilan substantif lebih
diutamakan dibandingkan dengan kepastian hukum.
B. Saran
Adapun saran terkait dengan makalah ini, sebagai berikut
:
1.
Agar TAP MPR bisa memposisikan dan memperjelas kedudukan
dalam hirarki Peraturan Perundang-Undangan, sehingga tidak terjadi multitasfir
dalam merumuskan suatu norma didalam pembentukan produk hukum; dan
2.
Disarankan agar dalam pembentukan Produk Peraturan
Perundang-Undangan mengacu pada
peraturan yang lebih tinggi khusus butir-butir yang tertuang didalam TAP MPR
pasca amandemen.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid A. Attamimi,
Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis
Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita
I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990
Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen
dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai
Negara, UI Press, Jakarta, 2010
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara,
terj. Raisul Muttaqien, cet. V, Nusa Media, Bandung, 2010
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Konstitusi Press, Jakarta, 2006
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006
Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum,
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006
Kansil C.S.T., Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2000
Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010
Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi,
PT. Alumni, Bandung, 2006
https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_konstitutif
[1] Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi,
PT. Alumni, Bandung, 2006, hal 305
[2] Lembaga konstitutif adalah
lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengganti, menambah, mengurangi, membuat
dan menghapus sebagian maupun seluruh isi atau materi yang ada di dalam
Konstitusi suatu negara. Hanya tiga negara di dunia yang memiliki lembaga
konstitutif yaitu, Indonesia, Iran, dan Perancis. Sedangkan lembaga konstitutif
negara lain bersifat sementara. Lihat dalam
https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_konstitutif
[3] Kansil C.S.T., Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 33
[4] Ibid., hal. 33-34
[5] Lihat UU No. 12 Tahun 2011
[6] Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum,
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hal.111
[7] A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis
Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita
I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.
[8] Ibid.
[9] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara,
terj. Raisul Muttaqien, cet. V, Nusa Media, Bandung, 2010, hal. 15
[10] Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral :
Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, UI Press, Jakarta,
2010, hal. 11
[11] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 52
[12] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal.
3
[13] Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 12
[14] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal.
41
[15] Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara … Op., Cit.,
hal. 22
KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Reviewed by thefilosofis
on
February 06, 2019
Rating:
No comments: