NEW PROMO

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) yang telah dilakukan sebanyak empat kali, yakni dimulai dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2003 telah membawa perubahan besar dalam sistem kelembagaan negara. Perubahan tersebut diakibatkan adanya tujuan reformasi dalam membatasi kewenangan Presiden yang dinilai terlalu besar pada masa orde baru. Selain itu, guna menyusun sistem kelembagaan negara yang berimbang, dibentuk beberapa lembaga baru yang susunan dan kedudukannya diatur jelas dalam konstitusi.
Salah satu lembaga negara yang direformasi akibat perubahan UUD Tahun 1945 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dimana pada masa orde baru kedudukan MPR adalah sebagai lembaga tertinggi negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Tatanan kedudukan MPR dirubah secara drastis dengan adanya perubahan UUD Tahun 1945, dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara yang sederajat dengan lembaga lainnya. Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.[1]
Mengenai kedudukan MPR selaku lembaga negara diatur dalam Pasal 2 UUD Tahun 1945 setelah perubahan. Menurut pasal tersebut dijelaskan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
Melihat ketentuan Pasal 2 UUD Tahun 1945, MPR ditempatkan dalam lingkup kekuasaan legislative, yang merupakan perkumpulan antara kedua lembaga yaitu DPR dan DPD. Sementara itu, kewenangan MPR diatur secara jelas dalam Pasal 3 UUD Tahun 1945 bahwa: “(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar”.
Merujuk pada Pasal 2 UUD Tahun 1945 disimpulkan bahwa MPR merupakan lembaga yang merupakan gabungan dari DPR dan DPD dan ditempatkan pada kekuasaan legislative, namun menjalankan kewenangan konstitutif sebagaimana Pasal 3 UUD Tahun 1945.  Khususnya dalam menjalankan kewangan mengubah dan menetapkan UUD Tahun 1945, mengisyaratkan bahwa MPR merupakan lembaga yang menjalankan kewenangan konstitutif.[2] Sebagai lembaga konstitutif, maka MPR seyogyanya dapat disebut sebagai lembaga yang bertugas menjaga konstitusi maupun menafsirkan konstitusi. Hal tersebut disadari akibat UUD Tahun 1945 merupakan satu-satunya produk hukum yang ditetapkan oleh MPR.
Sementara itu terkait produk hukum dalam kapasitas peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur lebih lanjut dalam UU No 12 Tahun 2011, yang menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1.      UUD 1945
2.      Ketetapan MPR
3.      UU/peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4.      Peraturan Pemerintah
5.      Peraturan Presiden
6.      Peraturan Daerah Propinsi
7.      Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota
Dalam UU No 12 Tahun 2011 tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya, Artinya ketentuan ini memulihkan kembali keberadaan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya lebih kuat dari UU. Sementara itu sebelum diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2011, UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak lagi menempatkan TAP MPR dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7 UU ini dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud Ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas! Ada ambivalensi terhadap eksistensi Tap MPR.
Atas dasar argumentasi di atas, dapat dibangun suatu kajian mengenai kedudukan Tap MPR yang sebelum diberlakukan UU No. 12 Tahun 2011 telah dihilangkan dalam bingkai hirarkhi peraturan perundang-undangan, dan kemudian dimunculkan kembali dalam Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.

B.     Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditentukan beberapa permasalahan dalam kajian ini, diantaranya:
1.   Adakah alasan utama mengapa UU No 10 Tahun 2004 digantikan denganUU No 12 Tahun 2011 ?
2.   Apakah Teori Perundang-Undangan dan Judicial Review dapat menjadi jamianan kedudukan TAP MPR ?
3.   Apakah pengujian UU Terhadap TAP MPR sesuai sistem sumber Hukum ?





















BAB II
LANDASAN TEORITIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN KONSEP NORMA DAN STUFFENBAWTHEORY
A.     Landasan Teoritis
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan perlu berpedoman pada asas-asas pembentukan peraturan yang baik dan ideal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan dan kecacatan dalam pembentukan norma. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menurut I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul Handboek Wetgeving dibagi dalam dua kelompok yaitu:
Asas-asas formil:
1)  Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
2)  Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan), yakni setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk peraturan perundagundagan yang berwenang; peraturan perundangundangan tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar) atau batal demi hukum (vanrechtswege nieteg), bila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak berwenang;
3)  Asas kedesakan pembuatan pengaturan (het noodzakelijkheidsbeginsel);
4)  Asas kedapatlaksanaan (dapat dilaksanakan) (het beginsel van uitvoerbaarheid), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya;
5)  Asas konsensus (het beginsel van de consensus).[3]
Asas-asas materiil:
1)  Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek);
2)  Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3)  Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
4)  Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5)  Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).[4]
Selain itu UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengingatkan kepada pembentuk undang-undang agar selalu memperhatikan asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik dan asas materi muatan.  Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
1)  “asas kejelasan tujuan” , bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
2)  “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” , bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang, Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang;
3)  “asas kesesuaian antara jenis,hierarki, dan materi muatan” , bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan;
4)  “asas dapat dilaksanakan”, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis;
6)  “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”, bahwa setiap Peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
7)  “asas kejelasan rumusan”, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;
8)  “asas keterbukaan”,  bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.[5]
Merujuk pada tatanan hirarkhies suatu peraturan perundang-undangan, dapat dikenali dengan menggunakan dua teori umum yaitu teori norma maupun teori stuffenbaw oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiansky. Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
1.   Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2.   Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.   Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4.   Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).[6]
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[7]
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.[8]
Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1.   Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2.   Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3.   Formell gesetz: Undang-Undang.
4.   Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Berdasarkan kelasifikasi di atas, dapat ditentukan bahwa Tap. MPR merupakan bagian dari staatsgrundgesetz bersanding dengan UUD Tahun 1945 dan konvensi ketatanegaraan. Secara sepintas dapat dilihat bahwa kedudukan Tap. MPR sebagai produk hukum MPR setara dengan UUD Tahun 1945. Sungguhpun dalam UU No. 12 Tahun 2011 menempatkan Tap. MPR di bawah UUD Tahun 1945.








BAB III
KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN
A.     Alasan Utama Undang Undang  Nomor 10 Tahun 2004 Digantikan Dengan Utama Undang Undang  Nomor 12 Tahun 2011
Agar supaya terciptanya suatu negara hukum maka negara membuat suatu aturan baku tentang UU tata cara dan mekaisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia telah ada beberapa regulasi mengenai pengaturan pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum, TAP MPR No. III/MPR/2000 dan disempurnakan dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Merasa aturan terdahulu belum lengkap, maka pada tanggal 12 Agustus 2011 pemerintah menetapkan UU No. 12 Tahun 2011 pengganti UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UU No. 12 Tahun 2011 memuat tentang ketentuan baru, yakni masuknya kembali TAP MPR dalam hierarki dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu, Peraturan pemerintah, Perpres, Paerda Propinsi dan Perda Kabupaten.2 Dalam penjelasan UU ini disebutkan bahwa TAP MPR yang dimaksud adalah TAP MPRS dan TAP MPR yang masih berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 dan 4 TAP MPR No. I/MPR/2003, yaitu TAP MPRS dan MPR sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Contoh TAP MPR yang masih berlaku antara lain adalah TAP MPR No. XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia dan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
UU merupakan sebuah produk politik, berarti sangat sarat dengan muatan kepentingan dan ada kemungkinan sebuah UU akan bertentangan dengan konstitusi atau UUD,3 ataupun sebuah peraturan yang ada di bawah UU bisa saja bertentangan dengan UU. Berpijak dari alasa tersebut, untuk check and balances diperlukan sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusional sebuah UU ataupun Mahkamah Agung untuk menguji peraturan di bawah UU terhadap UU. Pengujian peraturan perundangan-undangan ini biasa disebut dengan judicial review,4 baik pengujian UU terhadap UUD ataupun pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
Sepintas memang tidak ada masalah dengan UU No. 12 tahun 2011 tersebut, namun kalau kita cermati dengan seksama maka akan terlihat kekosongan norma dalam hal pengujian terhadap peraturan perundang-undangan. Walaupun mengenai mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan, Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa:
a.   Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”).
b.   Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”).
Pada pasal ini tidak jelas mengenai jika UU bertentangan dengan TAP MPR, kemana UU tersebut akan diuji, karena bisa saja suatu UU bertentangan dengan TAP MPR yang masih berlaku. Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana pengujian UU terhadap TAP MPR yang masih berlaku.
Berikut adalah beberapa perbedaan pengaturan antara UU No. 10 Tahun 2004 dengan UU No. 12 Tahun 2011.
No
Perihal
Perbedaan
UU NO.10 TAHUN 2004
UU NO.12 TAHUN 2011
1.
Penambahan kata
Pasal 5: Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan
Pasal 5 : Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukanberdasarkan pada asa pembentukan peraturan perundang-undangan
2.

Pasal 5 Point b :
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
Pasal 5 Point b:
Kelembagaan ataupejabat pembentuk yang tepat
3.

Pasal 5 Point c:
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan
Pasal 5 Point c:
Kesesuaian antara jenis, hirarki dan materi muatan
4.

Pasal 6 ayat (1) :
materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas
Pasal 6 ayat (1):
materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkanasas
5.
Penggolongan pasal
Pasal 7 tentang jenis dan hirarki peraturan perundang-undagnan masuk pada BAB II dan materi muatan pada BAB III
Pasal 7 jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan dan materi muatan pada BAB III
6.
Penambahan materi
Pasal 7 :
Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a.       UUD RI 1945
b.      UU/PERPU
c.       PP
d.      PERPRES
e.       PERDA
Pasal 7 :
Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a.       UUD RI 1945
b.      TAP MPR
c.       UU/PERPU
d.      PP
e.       PERPRES
f.        PERDA PROV
g.       PERDA KAB/KOTA
7.
Penghapusan pasal
Pada BAB II pasal 7, ayat 2 dan 3 mengatur tentang PERDA.
TELAH DIHAPUS
Pasal 7 ayat (5) dipindahkan menjadi pasl 7 ayat (2)
8.
Penggantian pasal
1.      Pasal 9
2.      Pasal 10
3.      Pasal 11
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
9.
Penggantian dan penambahan materi
Pasal 14 : materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam UU dan PERDA.
Pasal 15:
(1) materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a. UU
b. Peraturan daerah Provinsi; atau
c. peraturan daerah kab/kota
(2) ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dan c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan atau pidana denda paling bsnyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
10.
Penggantian dan penambahan materi
Pasal 8 :
Materi muatan yg harus diatur dengan UU berisi hal-hal yang :
a.       Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD RI 1945 yang meliputi :
1.      HAM
2.      Hak dan kewajiban warga negara
3.     Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara
4.      Wilayah negara dan pembagian daerah
5.     Kewarganegaraan dan kependudukan
6.      Keuangan negara
b.      Diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dg UU
Pasal 10 :
(1)  Materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi :
a.       Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD RI 1945
b.      Perintah suatu UU untuk diatur dengan UU
c.       Pengesahan perjanjian internasional tertentu
d.      Tindak lanjut atas putusan MK dan/atau
e.       Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat
(2)  Tindak lanjut atas putusan MK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden
(3)  PerDa prov dan PerDa Kab/kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya

Pasal baru
Belum diatur
Pasal 9 :
(1)      Dlm hal suatu UU diduga bertentangan dg UUD 45, pengujiannya dilakukan oleh MK
(2)      Dlm hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah UU diduga bertentangan dg UU, pengujiannya dilakukan oleh MA
11.
Penambahann pasal baru dan pemindahan pasal
Pasal 8 dalam BAB III mengatur tentang materi muatan
Pasal 8 merupakan pasal baru, terdapat dua ayat. Dan ayat yang kedua merupakan ayat 4 dalam pasal 7 pada UU no.10 tahun 2004.

B.     Teori Perundang-Undangan dan Judicial Review Dapat Menjadi Jaminan Kedudukan TAP MPR
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR, norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun hubungannya dengan lingkungannya.5 Norma adalah patokan atau ukuran bagi seseorang dalam bertindak dan bertingkah laku, norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi. Selanjutnya, seseorang menggabungkan diri dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya atau beberapa individu yang bergabung untuk membentuk masyarakat. Lalu masyarakat merupakan gabungan individu dan negara adalah masyarakat politik yang terorganisir, maka di mana ada masyarakat di situ ada hukum, kata Cicero.
Secara umum norma hukum norma hukum berisi suruhan, larangan dan kebolehan. Kelebihan dari norma hukum adalah karena bersifat umum dan norma hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa karena dibuat oleh penguasa, Sudikno Mertokusumo mengemukakan, bahwa yang hanya dapat melakukan paksaan terhadap pelanggaran terhadap norma hukum adalah penguasa, karena penguasa memonopoli hukum, sebab hukum ada karena adanya kekuasaan yang sah.[9]
Setiap UU yang akan diberlakukan dalam sebuah negara harus dibuat oleh lembaga yang berwenang, yaitu lembaga legislatif. Carl J. Friedrich mengemukakan bahwa parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat maka legislasi adalah fungsi utamanya. Menurut Montesquieu, lembaga perwakilan rakyat dibentuk untuk membuat Undang-undang, atau untuk melihat apakah Undang-undang tersebut dijalankan semestinya,9 dan menentukan keuangan publik. Frank J. Goodnow mengemukakan bahwa fungsi utama dalam pemerintahan adalah fungsi politik, atau fungsi yang menyatakan keinginan negara dan fungsi administrasi, yang berarti melaksanakan keinginan negara.[10]
Fungsi legislasi berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pelaksanaan fungsi legislasi dalam pembentukan UU, menyangkut empat bentuk kegiatan yaitu:
a.   Prakarsa pembuatan Undang-undang;
b.   Pembahasan draft Undang-undang;
c.   Persetujuan dan pengesahan draft Undang-undang;
d.   Pemberian persetujuan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya.[11]
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka menurut penulis dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perundang-undangan merupakan suatu norma atau aturan yang dibuat oleh lembaga negara yang sah sebagai regulasi dalam suatu negara yang bersifat umum dan konkrit serta berbentuk suruhan, larangan atau kebolehan.[12]
Kaitannya dengan norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan bahwa setiap aturan harus ada hierarkinya, dimulai dari yang norma dasar dan menjadi tolak ukur validitas bagi norma yang ada di bawahnya.[13] Menurut Kelsen, norma yang ada dalam suatu negara bukanlah berdiri sejajar yang bersifat koordinatif, melainkan masing-masing norma mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Di sini Kelsen menempatkan konstitusi sebagai norma dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, maka UU yang ada tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Sejalan dengan pendapat Kelsen ini, maka berlaku asas lex superior derogat legi inferiori. Dalam hal hierarki norma tersebut, norma dasar merupakan tempat tergantungnya norma yang ada di bawahnya.[14]
Oleh karena peraturan perundang-undangan mempunyai hierarki, setiap aturan yang lebih rendah tentunya harus disesuaikan dengan peraturan yang ada di atasnya, maka harus ada judicial review yaitu pengujian terhadap peraturan yang di bawah tersebut apakah sudah sesuai atau tidak dengan aturan yang diatasnya. Judicial review dalam UUD 1945 di Indonesia dilakukan oleh dua lembaga kehakiman, yaitu Mahkaah Konstitusi yang menguji UU terhadap UUD 1945 dan Mahkamah Agung yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
C.     Pengujian Undang-Undang Terhadap TAP MPR Menurut Sistem Sumber Hukum
Secara teoritis hierarki perundang-undangan Indonesia berdasarkan UU No. 12 tahun 2011 terdiri atas Staatsfundamentalnorm Pancasila, verfassungnorm UUD 1945, Grundgesetznorm TAP MPRS dan MPR dan Gesetznorm Undang-undang. UUD 1945 setelah amandemen hanya memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden serta memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, secara otomatis konstitusi tidak lagi memberikan kewenangan menentukan GBHN kepada MPR dan dengan begitu maka MPR menjadi lembaga tinggi negara yang setingkat dengan Presiden, DPR, DPR, MA, MK dan KY dalam UUD 1945.
Sebelum menganalisis lebih jauh mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR, akan lebih bagus kalau dilihat terlebih dahulu posisi TAP MPR bila dipandang dari lembaga yag membuatnya. Secara konstitusional MPR, yang meruapakan lembaga pembuat TAP MPR, bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara yang di atas lembaga lainnya, melainkan sudah setingkat dengan DPR yang juga lembaga legislatif. Berdasarkan asas bahwa UU yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi akan berkedudukan lebih tinggi pula, maka TAP MPR secara teoritis akan lebih cocok setara dengan UU, bukan setingkat di atas UU.
Persoalan tidak berhenti sampai di situ, oleh karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan produk MPR yang pada waktu itu merupakan lembaga tertinggi negara, jelas secara otomatis aturan yang dikeluarkannya lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang merupakan lembaga di bawah DPR. Karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan prodeuk dari lembaga yang pada masa penetapannya merupakan lebih tinggi dari lembaga yang menetapkan UU maka TAP MPR tersebut lebih tinggi dari UU dan juga mempunyai sifat regeling karena masih diberikan wewenang oleh konstitusi. Akan tetapi berbeda untuk TAP MPR yang ditetapkan oleh MPR yang dibentuk setelah amandemen UUD 1945, maka Ketetapannya setingkat dengan UU dan hanya berbentuk beshicking untuk administrasi internal MPR saja.
Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR/S dan secara otomatis pula maka UU harus sesuai dengan TAP MPR, jika tidak sesuai maka harus dilakukan pengujian, sayangnya mekanisme pengujian ini tidak diatur dalam UUD 1945, UU No. 12 tahun 2011 maupun UU No. 8 tahun 2011 tentang MK. Sebenarnya ada celah dalam melakukan pengujian tersebut, yakni jika kita tarik dari lembaga yang membuatnya.
Berdasarkan pasal 3 ayat (1) UUD 1945, MPR mempunyai wewenang mengubah dan menetapkan UUD. Berdasarkan pasal tersebut, maka TAP MPR/S kalau dilihat dari lembaga yang membuatnya adalah peraturan yang setingkat dengan UUD 1945, namun karena mengubah dan menetapkan UUD merupakan fungsi MPR yang utama (fungsi konstituante) maka secara hierarki UUD 1945 lebih tinggi dari TAP MPR/S. Dilihat dari lembaga yang membuatnya inilah, maka saya lebih sepakat kalau terjadi pertentangan UU terhadap TAP MPR/S maka yang mengujinya adalah Mahkamah Konstitusi.
Pengujian UU terhadap TAP MPR/S oleh Mahkamah Konstitusi karena mahkamah konstitusi merupakan lembaga tempat pengujian UU terhadap UUD 1945, karena TAP MPR dan UUD 1945 bisa dianggap setingkat karena dibuat oleh lembaga yang sama maka pengujian UU terhadap TAP MPR/S juga melalui Mahkamah Konstitusi. Selain itu, karena dibuat oleh lembaga yang sama, TAP MPR/S dan UUD 1945 adalah Aturan Dasar Negara, yang membedakan keduanya adalah prosedur perubahannya. UUD 1945 lebih rumit kalau ingin merubahnya, sedangkan TAP MPR tidak begitu sulit.
Perdebatan pasti akan muncul jika pengujian UU terhadap TAP MPR/S dilakukan di Mahkamah Konstitusi, karena tidak adanya aturan yang tertulis mengenai hal ini. Secara normatif kepasyian hukum memang benar, tapi kalau dilihat dari substansinya maka itu dapat dibenarkan, sebab dalam permasalahan ini terjadi kekosongan hukum, maka sebuah kebijaksanaan dapat diambil agar tercipta keadilan.
Pendapat ini bisa beralasan dari pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang tidak lagi memakai kata rechtstaat, berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang dengan jelas mencantumkan kata ini, yang berarti prosedur hukum atau UU (rechstaat) dilaksanakan demi keadilan hukum (rule of law). Mahfud MD mengatakan, bahwa ketentuan tertulis yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan, karena hanya merupakan cara untuk mencapai keadilan.[15] Misalkan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dianggap beberapa kalangan tidak sesuai dengan ekonomi kerakyatan, berarti UU tersebut bertentangan dengan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Andaikan ada yang keberatan dengan UU ini maka pengujian bisa dilakukan karena bertentanngan dengan TAP MPR tersebut, tapi mekanisme pengujiannya belum ada, berarti negara dalam hal ini menelantarkan rakyat yang ingin mencari keadilan karena merasa tidak mendapatkan keadilan akibat berlakunya UU tersebut. Bukankah undang-undang berfungsi sebagai pengatur masyarakat, dan persoalan mengatur masyarakat adalah bagaimana mendistribusikan keadilan bisa diterima oleh pihak-pihak dalam masyarakat. Jika UU No. 25 Tahun 2007 tidak diterima oleh masyarakat, atau pihak yang merasa haknya dilanggar, maka akan kemana dilakukan pengujian, sedangkan Uud 1945, UU No. 12 Tahun 2012 maupn UU MK sendiri tidak mengaturnya. Secara kepastian hukum persoalan ini belum ada solusinya, tetapi demi menciptakan keadilan maka MK yang paling berwenang mengujinya terhadap TAP MPR No. XVI/MPR/1998.
BAB IV
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Berdasarkan analisa permasalahan yang telah dipaparkan dalam bab ketiga, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai jawaban permasalahan. Adapun kesimpulan dalam menjawab permasalahan diantaranya yaitu:
1.      Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun secara teoritis masih diperdebatkan. Jika dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yang mana MPR merupakan lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR posisinya memang lebih tinggi dari UU. akan tetapi bila dilihat posisi MPR setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR setingkat dan sederajat dengan DPR dan Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan pada saat MPR masih menjadi lembaga tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih tinggi dari UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi negara.
2.      TAP MPR/S sebelum amandemen UUD 1945 merupakan aturan hukum dasar di samping UUD 1945 yang memuat norma dasar dan bersifat regeling, posisinya jelas berada diatas UU yang lebih teknis. Setelah amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR tidak lagi menjadi aturan hukum dasar, dan UUD 1945 adalah aturan hukum dasar tunggal, serta bersifat beshicking bagi administrasi internal MPR saja.
3.      Berdasarkan kedudukan kelembagaan, TAP MPR secara teoritis setingkat dengan UUD 1945, karena dibuat oleh MPR, yang membedakannya adalah pertama, MPR mengubah dan menetapkan UUD 1945 karena fungsinya sebagai konstituante, sedangkan dalam menetapkan TAP MPR fungsinya hanya sebatas legislasi biasa. Kedua, prosedur amandeman UUD 1945 begitu rumit, sedangkan perubahan TAP MPR tidak begitu sulit, yakni sama seperti UU. oleh karena itulah TAP MPR secara hierarki berada di bawah UUD 1945. Karena sama-sama ditetapkan oleh MPR, maka dalam judicial review UU terhadap TAP MPR diberikan kewenangan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi. Kewenangan ini selain karena alasan UUD 1945 dan TAP MPR sama-sama ditetapkan oleh MPR, tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR. Dalam hal ini keadilan substantif lebih diutamakan dibandingkan dengan kepastian hukum.

B.     Saran
Adapun saran terkait dengan makalah ini, sebagai berikut :
1.      Agar TAP MPR bisa memposisikan dan memperjelas kedudukan dalam hirarki Peraturan Perundang-Undangan, sehingga tidak terjadi multitasfir dalam merumuskan suatu norma didalam pembentukan produk hukum; dan
2.      Disarankan agar dalam pembentukan Produk Peraturan Perundang-Undangan mengacu  pada peraturan yang lebih tinggi khusus butir-butir yang tertuang didalam TAP MPR pasca amandemen.


DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990

Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, UI Press, Jakarta, 2010

Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, cet. V, Nusa Media, Bandung, 2010

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006

Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006

Kansil C.S.T., Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2000

Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010

Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, PT. Alumni, Bandung, 2006

https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_konstitutif




[1] Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal 305
[2] Lembaga konstitutif adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengganti, menambah, mengurangi, membuat dan menghapus sebagian maupun seluruh isi atau materi yang ada di dalam Konstitusi suatu negara. Hanya tiga negara di dunia yang memiliki lembaga konstitutif yaitu, Indonesia, Iran, dan Perancis. Sedangkan lembaga konstitutif negara lain bersifat sementara. Lihat dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_konstitutif
[3] Kansil C.S.T., Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 33
[4] Ibid., hal. 33-34
[5] Lihat UU No. 12 Tahun 2011
[6] Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hal.111
[7] A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.
[8] Ibid.
[9] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, cet. V, Nusa Media, Bandung, 2010, hal. 15
[10] Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, UI Press, Jakarta, 2010, hal. 11
[11] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 52
[12] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal. 3
[13] Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 12
[14] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal. 41
[15] Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara … Op., Cit., hal. 22
KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 KEDUDUKAN KETETAPAN  MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT  PASCA AMANDEMEN  UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Reviewed by thefilosofis on February 06, 2019 Rating: 5

No comments:

PROMO DISKON %

Powered by Blogger.