BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
www.teukuhaekal.com |
Hukum adat karena sifatnya yang tidak tertulis,
majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka perlu dikaji
perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup ,
apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu. Ada
banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum
adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum “adat”[1].
Bagaimana tempat dan bagaimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat
tergantung kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para
pengembannya- politisi, hakim, pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri.
Hukum ada dan berlakunya tergantung kepada dan berada dalam masyarakat.
Kaedah hukum negara berada di atas kaedah hukum lain,
dan karenanya harus tunduk kepada negara beserta lembaga hukum negara.
Pemahaman ideologi sentralisme hukum, memposisikan hukum adalah sebagai kaedah
normatif yang bersifat memaksa, ekslusif, hirarkis, sistimatis, berlaku
seragam, serta dapat berlaku; pertama, dari atas ke bawah (top
downwards) di mana keberlakuannya sangat tergantung kepada penguasa (Bodin:
1576; Hobbes: 1651; Austin: 1832) atau, kedua dari bawah ke atas (bottom
upwards) di mana hukum dipahami sebagai suatu lapisan kaedah-kaedah
normatif yang hirarkis, dari lapisan yang paling bawah dan meningkat ke
lapisan-lapisan yang lebih tinggi hingga berhenti di puncak lapisan yang
dianggap sebagai kaedah utama (Kelsen: 1949; Hart: 1961). Sistem hukum yang
dipengaruhi idiologi ini, seluruh lapisan kaedah normatif ini baru dianggap sah
keberlakuannya sebagai suatu aturan hukum jika sesuai dengan lapisan (norma,
kaedah ) yang di atasnya. Khusus kaedah utama yang berada di puncak lapisan –
disebut grundnorm, yaitu suatu kaedah dasar, nilai dasar yang sudah ada
dalam masyarakat, digunakan sebagai kaedah pembenar oleh negara dalam mengukur
kaedah yang berada di bawahnya.
Sentralisme hukum yang juga disebut hukum modern,
dicirikan oleh beberapa sarjana: misalnya oleh Marc Galanter menyebut tidak
kurang dari 11 karakteristik hukum modern itu. Beberapa di antaranya adalah:
(1) hukum itu lebih bersifat teritorial daripada personal, dalam arti
penerapannya tidak terikat pada kasta, agama atau ras tertentu; (2) sistemnya
diorganisir secara hirarkhis dan birokratis; (3) sistem juga rasional yang
artinya, tehnik-tehniknya dapat dipelajari dengan menggunakan logika dan
bahan-bahan hukum yang tersedia dan (4) disamping itu hukum dinilai dari sudut
kegunaannya sebagai sarana untuk menggarap masyarakat, tidak dari kwalitas
formalnya; (5) hukum itu bisa diubah-ubah dan bukan merupakan sesuatu yang
keramat – kaku; eksistensi hukum dikaitkan pada (kedaulatam) Negara.
[2]
Pada posisi (sebagai hukum modern) ini hukum
memperoleh penyempitan makna, karena hukum semakin menjadi sesuatu yang otonom,
lepas dari realitas dan nilai yang seharusnya sebagai substansi dan
pendukungnya. Hal ini berakibat pada suatu keadaan hukum telah cacat sejak
lahirnya, ini sebagai tragedi hukum. Idiologi sentralisme hukum inilah sebagai
ibu kandung positivisme hukum yang sering disebut hukum modern, pada paham yang
paling ekstrim adalah hukum harus dibebaskan – dimurnikan - dari nilai-nilai
non hukum (etika, moral, agama), sehingga hukum sebagai bebas nilai (value
free), yang dipositipkan dalam bentuk peraturan dan yang bersumberkan dari
negara dalam bentuk tertulis. Hukum jenis ini dewasa ini sangat dominan dan
sebagai penopang negara penganut modern-liberal, bahkan negara
ultra-modern-neoliberal, dengan didukung oleh para pengembannya (pendidikan
hukum, profesional dengan standarnisasi yang ketat)
Sebaliknya yang berlawanan dengan paham sentralisme
hukum adalah paham pluralisme hukum. Paham pluralisme hukum menempatkan sistem
hukum yang satu berada sama dengan sistem hukum lain. Menurut Satjipto Rahardjo
sejak saat timbulnya hukum modern yang sentral dari negara, maka mulai
tergusurnya jenis hukum lain seperti hukum adat dan kebiasaan lainnya. Kalaupun
jenis-jenis hukum itu masih berlaku di sana
sini, maka itu semua terjadi karena “ kebaikan hati” hukum negara ( by the grace of state law)[3].
Maka studi hukum adat dalam perkembangan mengkaji
hukum adat sepanjang perkembanganya di dalam masyarakat, dilakukan secara
kritis obyektif analitis, artinya hukum adat akan dikaji secara positif dan
secara negatif. Secara positif artinya hukum adat dilihat sebagai hukum yang
bersumber dari alam pikiran dan cita-cita masyarakatnya. Secara negatif hukum
adat dilihat dari luar, dari hubungannya dengan hukum lain baik yang menguatkan
maupun yang melemahkan dan interaksi perkembangan politik kenegaraan.
Perkembangan hukum secara positif artinya hukum adat akan dilihat pengakuannya
dalam masyarakat dalam dokrin, perundang-undangan, dalam yurisprudensi maupun
dalam kehidupan masyarakat sehari hari. Sebaliknya perkembangan secara negatif
bagaimana hukum adat dikesampingkan dan tergeser atau sama sekali tidak berlaku
oleh adanya hukum positif yang direpresentasikan oleh Negara baik dalam
perundang-undangan maupun dalam putusan pengadilan. Sebagaimana dinyatakan:
hukum adat sebenarnya berpautan dengan suatu masyarakat yang masih hidup dalam
taraf subsistem, hingga kecocokannya untuk kehidupan kota modern mulai dipertanyakan.
Hukum adat dalam tulisan ini dilihat sebagai suatu
system. Sistem sesuai dikemukakan oleh Scholten, disetujui Soepomo,
berpendapat: bahwa tiap hukum merupakan suatu system, yaitu
peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam
pikiran [4].
B. Rumusan Permasalahan
Maka
berdasarkan rumusan diatas, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana perkembangan hukum adat dalam hukum positive
di Indonesia ?
2.
Bagaimana pula perkembangan hukum adat dalam
yurisprudensi Indonesia
?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan judul yang dipilih “Perkembangan Hukum Adat”, maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk
meningkatkan wawasan dan pengetahuan kita mengenai perkembangan hukum adat
dalam hukum positif di Indonesia
dan perkembangan hukum adat dalam Yurisprudensi Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Adat
Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali
dilakukan oleh William Marsden (1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian
di Bengkulu, semasa dikuasai Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles.
Namun kajian secara sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yang pertama
kali menggunakan istilah adatrecht (hukum adat), dan ia sebagai peletak
teori Receptie [5],
ia memandang hukum adat identik dengan hukum kebiasaan[6].
Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun
1906, ketika Snouck Hurgronye menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk
adat yang mempunyai konsekuensi hukum[7]. Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven
dengan pendekatan positivisme sebagai acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu
hukum harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan keadaan (gestelheid),
(2) kelanjutan (veloop), dan (3) menemukan keajekannya (regelmaat),
berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke dalam 19
lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut
Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep hukum adat, seperti: masyarakat hukum
atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap), hak ulayat atau pertuanan (beschikings-rechts),
lingkaran hukum adat (adatrechtskringen).
Selanjutnya Teer Haar; ia dengan mendasarkan
analisisnya pada Teori Keputusan yang dikemukakan oleh John Chipman Grey
menyatakan, semua hukum dibuat oleh hakim (Judge made law), ia
mengemukakan Teori Keputusan (beslissingenleer-theorie). Mengkaji hukum
adat dari berbagai sudut pandang, namun tetap menunjukkan apa yang disebut
hukum adat, akan menentukan bagaimana hukum adat dalam perkembangannya, dan
hukum adat akan mampu menyesuaian dengan kebutuhan dan tuntutan dalam
masyarakat yang akan terus berubah. Oleh karena itu pemahaman pengertian,
pendekatan metodologis menjadi penting sekali untuk dapat melihat, memahami dan
mempelajari perkembangan hukum adat atau hukum adat dalam perkembangannya.
Hukum adat merupakan istilah tehnis ilmiah, yang
menunjukkan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang
tidak berbentuk peraturan-perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan[8].
Beberapa definisi hukum adat yang dikemukakan para ahli hukum, antara lain
sebagai berikut:
Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan
definisi hukum adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang
berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai
sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak
dikodifikasikan (karena adat)[9].
Abdulrahman , SH menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk
mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk
Hukum Adat pada masa kini[10].
Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat
adalah synomim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan
legislative (statuary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di
badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Provinsi dan sebagainya), hukum yang
hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup,
baik di kota
maupun di desa-desa[11]. Prof.
Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang kebanyakan tidak
dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi
(dari itu hukum), jadi mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum Adat[12]
Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/
peraturan-peraturan adat tingkah laku yang bersifat hukum di segala kehidupan
orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat
dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh
karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan itu harus
dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya paksa atau
ancaman hukuman (sanksi)[13].
B. Azas azas Hukum Adat
Hukum adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran
masyarakat Indonesia,
yang bersifat majemuk, namun ternyata dapat dilacak azas-azasnya, yaitu:
1.
Azas Gotong royong;
2.
Azas fungsi sosial hak miliknya;
3.
Azas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum;
4.
Azas perwakilan dan musyawaratan dalam sistem
pemerintahan.
C. Sifat Corak Hukum Adat
1.
Sifat Hukum
Adat.
Hukum adat berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi
atau Eropa Kontinental lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme –realisme
artinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius,
sehingga hukum adat mempunyai fungsi social atau keadilan social. Sifat yang
menjadi ciri daripada hukum adat sebagai 3 C adalah:
a)
Commun atau komunal atau kekeluargaan
(masyarakat lebih penting daripada individu);
b)
Contant atau Tunai perbuatan hukum dalam hukum
adat sah bila dilakukan secara tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan
hukum;
c)
Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan hukum
dinyatakan sah bila dilakukan secara kongkrit bentuk perbuatan hukumnya.
Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat:
statis, dinamis dan plastis. Statis, hukum adat selalu ada dalam masyarakat; Dinamis,
karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat; Plastis/Fleksibel,
kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan masyarakat.
2. Corak Hukum Adat
Soepomo[14]
mengatakan Corak atau pola – pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan
perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang
tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:
a)
Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat ; artinya , manusia
menurut hukum adat , merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat
, rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;
b)
Mempunyai corak magich – religius, yang berhubungan
dengan pandangan hidup alam Indonesia;
c)
Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba
kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan
berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat
mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan
hidup;
d)
Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya-
hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan
suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang tampak).
Moch. Koesnoe mengemukakan corak hukum adat sebagai
berikut[15]
:
a)
Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah
suatu kiasan saja. Menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk
banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui berbagai
kemungkinan arti kiasan dimaksud;
b)
Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok
perhatiannya. Artinya dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam
wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh;
c)
Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas
pokok. Artinya dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu
tempat dan keadaan serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan,
kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama. Pemberian kepercayaan yang
besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk melaksanakan hukum adat.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Perkembangan Hukum Adat Dalam Hukum Positive
Di Indonesia
1.1. Hukum Asli Indonesia
Hukum adat tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran
masyarakat Indonesia.
Maka hukum adat dapat dilacak secara kronologis sejak Indonesia terdiri dari
kerajaan-kerajaan, yang tersebar di seluruh nusantara. Masa Sriwijaya, Mataran
Muno, Masa Majapahit beberapa inskripsi (prasasti) menggambarkan perkembangan
hukum yang berlaku (hukum asli), yang telah mengatur beberapa bidang, antara
lain:
a)
Aturan aturan keagamaan, perekonomian dan pertambangan,
dimuat dalam Prasasti Raja Sanjaya tahun 732 di Kedu, Jawa Tengah;
b)
Mengatur keagamaan dan kekaryaan, dimuat dalam prasasti
Raj Dewasimha tahun 760;
c)
Hukum Pertanahan dan Pertanian ditemukan dalam Prasasti
Raja Tulodong, di Kediri., 784 dan prasasti tahun 919 yang memuat jabatan
pemerintahan, hak raja atas tanah, dan ganti rugi;
d)
Hukum mengatur tentang peradilan perdata, dimuat dalam
prasasti Bulai Rakai Garung, 860.
e)
Perintah Raja untuk menyusus aturan adat, dalam
prasasti Darmawangsa tahun 991;
f)
Pada masa Airlangga, adanya penetapan lambang meterai
kerajaan berupa kepala burung Garuda, pembangunan perdikan dengan hak-hak
istimewanya, penetapan pajak penghasilan yang harus dipungut pemerintah pusat.
g)
Masa Majapahit, tampak dalam penataan pemerintahan dan
ketatanegaraan kerajaan Majapahit, adanya pembagian lembaga dan badan
pemerintahan. Setelah jatuhnya Majapahit, maka kerajaan Mataram sangat diwarnai
oleh pengaruh Islam, maka dikenal peradilan qisas, yang ,memberikan
pertimbangan bagi Sultan untuk memutus perkara. Di pedalaman, dikenal peradilan
‚padu’ yaitu penyelesaian perselisihan antara perorangan oleh peradilan desa,
dilakukan secara damai. Bersamaan itu, maka di Cirebon dikenal : Peradilan Agama memutus
perkara yang membahayakan masyarakat umum, Peradilan Digrama yang memutus
pelanggaran adat, dan perkara lain yang tidak masuk peradilan agama; dan
Peradilan Cilaga adalah peradilan dalam bidang perekonomian, perdagangan, jual
beli, hutang piutang.
Beberapa contoh tersebut di atas menunjukkan bahwa
tatanan hukum asli yang telah berlaku di berbagai daerah, yang sekarang dikenal
dengan nama Indonesia
menunjukkan hukum bersumberkan pada masyarakat asli, baik berupa keputusan
penguasa maupun hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat.
1.2. Politik Hindia Belanda
Terhadap Hukum Adat.
Pada awalnya hukum asli masyarakat yang dikenal dengan
hukum adat dibiarkan sebagaimana adanya, namun kehadiran era VOC dapat dicatat
perkembangan sebagai berikut:
a)
Sikapnya tidak selalu tetap (tergantungan kepentingan
VOC), karena tidak berkepentingan dengan pengadilan asli;
b)
VOC tidak mau dibebani oleh persoalan administrasi yang
tidak perlu berkenaan dengan pengadilan asli;
c)
Terhadap lembaga-lembaga asli, VOC tergantung pada
kebutuhan (opportuniteits politiek);
d)
VOC hanya mencampuri urusan perkara pidana guna
menegakkan ketertiban umum dalam masyarakat;
e)
Terhadap Hukum perdata diserahkan , dan membiarkan
hukum adat tetap berlaku.
Pada masa Dandeles, hukum pidana adat diubah dengan
pola Eropa, bila :
a)
Perbuatan pidana yang dilakukan berakibat mengganggu
kepentingan umum;
b)
Perbuatan pidana bila dituntut berdasarkan atas hukum
pidana adat dapat mengakibatkan si pelaku bebas.
Perkembangan hukum adat pada masa daendels bernasib
sama dengan masa-masa sebelumnya yakni disubordinasikan hukum Eropa. Terkecuali
untuk hukum sipil. Termasuk hukum perdata dan hukum dagang, Daendels tetap
membiarkan sebagaimana adanya menurut hukum adat masing-masing. Pada masa
penjajahan Inggris (Raffles), hal yang menonjol adalah adanya keleluasaan dalam
hukum dan peradilan dalam menerapkan hukum adat, asal ketentuan hukum adat
tidak bertentangan dengan: the universal and acknowledged principles of
natural justice atau acknowledge priciples of substantial justice.
Pada perkembangan lanjutan, politik hukum adat tampak
pada pemerintahan penjajahan Belanda, ketika dimulainya politik unifikasi hukum
dan kodifikasi hukum melalui Panitia Scholten, di antaranya: Alegemeene
Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB), Ketentuan Umum tentang
peraturan Perundang-undangan di Hindia Balanda; Burgerlijke Wetboek, Wetboek
van Koopenhandel; reglemen op Rechtelejke Organisatie en het beleid de justitie
(RO). Maka dalam perkembangannya terbentuklah unifikasi dalam pengaturan
hukum pidana bagi golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi, dengan dibentuknya Wetboek
van Strafrecht (WvS), sebagi tiruan Belanda (1881) yang meniru Belgia,
diberlakukan bagi golongan Eropa dengan Stb 1866:55 dan berlaku bagi Golongan
Pribumi dan Timur Asing dengan Stb 1872:85 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari
1873. Proses kodifikasi dan unifikasi, maka hukum adat kecuali berkenaan dengan
ketertiban umum dengan kodifikasi hukum pidana, tidak disangkutkan
pengaturannya, sehingga yang dijadikan rujukan hukum adat adalah pasal 11 AB:
Kecuali dalam
hal-hal orang pribumi atau yang disamakan dengan mereka (orang timur asing)
dengan sukarela menaati (vrijwillige onderwerping) peraturan-peraturan
hukum perdata dan hukum dagang Eropa, atau dalam hal-hal bahwa bagi mereka
berlaku peraturan perundangan semacam itu, atau peraturan perundangan lain,
maka hukum yang berlaku dan yang diperlakukan oleh hakim pribumi (Inlandse
rechter) bagi mereka itu adalah godsdienstige wetten, volkintellingen en
gebruiken, asal saja tidak bertentangan dengan azas –azas keadilan yang
diakui umum.
Pasal 11 AB, berlakukan azas konkordansi, yang
memberlakukan hukum Belanda bagi golongan Eropa di Hindia Belanda, berkenaan
dengan dengan hukum adat menunjukkan bahwa hukum adat berlaku bagi golongan
penduduk bukan Eropa, kecuali:
a)
Sukarela menaati peraturan peraturan perdata dan hukum
dagang yang berlaku bagi golongan Eropa;
b)
Kebutuhan hukum memerlukan ketundukan pada hukum
perdata dan hukum dagang golongen Eropa;
c)
Kebutuhan mereka memerlukan ketundukan pada hukum lain.
Pada masa ini, hukum dianggap ada bila diatur dalam
undang-undang, sebagai hukum tertulis (statuary law) yang menunjukkan
dianutnya paham Austinian, sebagaimana diatur pasal 15 AB (Alegeme
Bepalingen van Vetgeving), yang menyatakan: terkecuali peraturan-peraturan
yang ada, bagi orang Indonesia
asli dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya, kebiasaan hanya dapat disebut
hukum apabila undang-undang menyebutnya.
Dengan demikian menjadi jelas yang membuat ukuran dan
kriteria berlaku dan karenanya juga berkembangnya hukum adat, adalah bukan
masyarakat –dimana tempat memproduksi dan memberlakukan hukum adanya sendiri –
melainkan adalah hukum lain yang dibuat oleh penguasa (kolonial), sebagaimana
ternyata dalam pasal 11 AB dan pasal 15 AB tersebut.
1.3. Hukum Adat Dalam Masa
Kemerdekaan
Merujuk pada pengertian hukum adat sebagaimana
dikemukakan oleh Soepomo, maka hukum adat pembentukan dapat melalui Badan
Legislatif, Melalui Pengadilan. Hukum
merupakan kesatuan norma yang bersumber pada nilai-nilai (values). Namun
demikian hukum dan hukum adat pada khususnya menurut karakternya, ada Hukum
adat memiliki karakter bersifat netral dan Hukum adat memiliki karakter
bersifat tidak netral karena sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai relegius.
Pembedaan ini penting untuk dapat
memahami pembentukan atau perubahan hukum yang akan berlaku dalam masyarakat.
Hukum netral – hukum lalu lintas[16] -
adalah hukum yang relative longgar kaitannya dengan nilai nilai religius,
susunan masyarakat adat dimana hal ini berakibat, perubahan hukum yang termasuk
hukum netral mudah pembentukannya dan pembinaan hukum dilakukan melalui bentuk
perumusan hukum perundang-undangan (legislasi). Sedangkan hukum adat yang erat
kaitannya dengan nilai-nilai relegius, karena itu relative tidak mudah
disatukan secara nasional, maka pembinaan dan perumusannya dalam hukum positif
dilakukan melalui yurisprudensi.
Hukum adat oleh ahli barat, dipahami berdasarkan dua
asumsi yang salah, pertama, hukum adat dapat dipahami melalui
bahan-bahan tertulis, dipelajari dari catatan catatan asli atau didasarkan pada
hukum-hukum agama. Kedua, bahwa hukum adat disistimatisasi secara
paralel dengan hukum-hukum barat[17].
Akibat pemahaman dengan paradigma barat tersebut, maka hukum adat dipahami
secara salah dengan segala akibat-akibat yang menyertai, yang akan secara nyata
dalam perkembangan selanjutnya di masa kemerdekaan.
1.4. Hukum Adat Dalam Konsitusi
Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas
menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila
ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di
dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat[18].
Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan
kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat.
Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara
mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat
dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum
adat. Dalam konsitusi RIS pasal 146 ayat 1 disebutkan bahwa segala keputusan
kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara harus menyebut
aturan-atiuran undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar
hukum itu[19]. Selanjutnya
dalam UUD Sementara, pasal 146 ayat 1 dimuat kembali. Dengan demikian hakim
harus menggali dan mengikuti perasaaan hukum dan keadilan rakyat yang senantiasa
berkembang. Dalam pasal 102 dan dengan memperhatikan ketentuan pasal 25 UUDS
1950 ada perintah bagi penguasa untuk membuat kodifikasi hukum. Maka hal ini
termasuk di dalamnya hukum adat.[20]
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 kembali
berlaku, ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi
segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang
disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak emwujdukan
keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. Maka azas-azas fungsi
sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting untuk
diwujdukan dan disesuaikan dengan dengan tuntutan dan perekembangan masyarakat,
dengan tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara
mewujudkan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan dan
perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fundamental dan penting, adanya persatuan
perasaaan antara rakyat dan pemimpinnya[21],
artinya pemimpin harus menantiasa memahami nilai-nilai dan perasaaan hukum,
perasaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan
kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu maka
ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki watak
berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan
berperikemanusiaan[22].
Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha
Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa
dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan
arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya
sebagai fungsinya harus senantiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan
yang maha Esa.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui
sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 18D ayat 2
menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang[23].
Memahami rumusan pasal 18 d UUD 1945 tersebut maka:
a)
Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan
hak-hak tradisionalnya ;
b)
Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih
hidup;
c)
Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
d)
Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-undang.
Maka konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan
penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
a)
Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan
sesuai perkembangan masyarakat;
b)
Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara
kesatuan Republik Indonesia,
dan keberlakuan diatur dalam undang-undang.
Hukum perundang-undangan sesuai dengan TAP MPR Tahun
2001, maka tata urutan perundang-undangan:
a)
Undang-undang Dasar 1945;
b)
Ketetapan MPR;
c)
Undang-undang/ Perpu
d)
Peraturan Pemerintah;
e)
Peraturan Daerah.
Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum
adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud
sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan,
kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.
2. Perkembangan Hukum Adat Dalam Yurisprudensi Indonesia
Yurisprudensi, berasal dari kata bahasa Latin: jurisprudential,
secara tehnis artinya peradilan tetap atau hukum. Yurisprudensi adalah putusan
hakim (judge made law) yang diikuti hakim lain dalam perkara serupa (azas
similia similibus), kemudian putusan hakim itu menjadi tetap sehingga
menjadi sumber hukum yang disebut yurisprudensi. Yurisprudensi dalam praktek
berfungsi untuk mengubah[24],
memperjelas[25],
menghapus[26],
menciptakan atau mengukuhkan hukum yang telah hidup dalam
masyarakat.
Dalam hukum adat, yurisprudensi hukum, selain
merupakan keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap dalam bidang hukum
adat, juga merupakan sarana pembinaan hukum adat, sesuai cita-cita hukum,
sekaligus dari yurisprudensi dari masa ke masa dapat dilacak perkembangan –
perkembangan hukum adat, baik yang masih bersifat lokal maupun yang telah
berlaku secara nasional. Perkembangan-perkembangan hukum adat melalui
yurisprudensi akan memberikan pengetahuan tentang pergeseran dan tumbuhnya
hukum adat, melemahnya hukum adat local dan menguatnya hukum adat yang kemudian
menjadi bersifat dan mengikat secara nasional. Perkembangan hukum adat melalui
yurisprudensi dapat dilacak dalam beberapa hal antara lain:
2.1. Prinsip Hukum Adat.
Hukum adat antara lain bersandarkan pada azas: rukun,
patut, laras, hal ini ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung-RI
Nomor: 3328/Pdt/1984 tanggal 29 April 1986. Dalam Putusan MA-RI Nomor 2898 K/Pdt/1989
tanggal 19 Nomember 1989, berdasarkan sengketa adat yang dimbul di Pengadilan
Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur, Mahkamah Agung menegaskan:
“ Dalam menghadapi kasus gugatan perdata yang fondamentum petendi dan
petitumnya berdasarkan pada pelanggaran hukum adat dan penegasan sanksi adat;
Bila dalam persidangan penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya, maka hakim
harus menerapkan hukum adat mengenai pasal tersebut yang masih berlaku di
daerah bersangkutan, setelah mendengar Tetua adat setempat“.
Kaedah hukum selanjutnya: “Penyelesaian pelanggaran
hukum adat, disamping melalui gugatan perdata tersebut di atas, dapat pula
ditempuh melalui tuntutan pidana ig pasal 5 (3)b UU No. 1 Drt/1951“.
2.2. Menguatnya Kedudukan Keluarga
Inti (Gezin)
Golongan masyarakat adat di Indonesia terdiri dari golongan
masyarakat patrilineal, golongan masyarakat matrilineal dan golongan masyarakat
parental (bilateral). Dalam Perkembangannya ternyata semakin kuat dan diakuinya
pergeseran system kekeluargaan dalam masyarakat adat matrilineal dan masyarakat
adat matrilineal ke arah system parental atau bilateral. Yurisprudensi tanggal
17 Januari 1959b Nomor 320K/ Sip/ 1958 sebagai berikut:
a)
Si istri dapat mewarisi harta pencaharian sang suami
yang meninggal dunia;
b)
Anak yang belum dewasa dipelihara dan berada dalam
pengampuan ibu;
c)
Karena anak berada dalam pengampuan ibu, maka harta
kekayaan anak dikuasai dan diurus oleh ibu;
d)
Kedudukan sama laki dan perempuan.
2.3. Menguatnya Perlindungan
kepada Perempuan Dalam Hukum Waris
1)
Kedudukan anak Perempuan Dalam Hukum Waris
Semula menurut hukum adat dalam masyarakat
patrilineal, anak perempuan bukan ahli waris. Namun dalam perkembangannya
diakui oleh yurisprudensi bahwa anak perempuan sebagai ahli waris almarhum
orang tuanya.
2) Kedudukan
Janda dalam Hukum Waris
Perkembangan awal seorang janda bukan ahli waris,
dalam kenyataannya kemudian janda menjadi menderita sepeninggal suaminya,
kemudian timbul praktek pemberian hibah oleh suami kepada istrinya untuk
melindungi dan mempertahankan kehidupan sosial ekonomi sepeninggal suaminya,
praktek demikian semakin lama semakin melembaga. Perkembangan hukum adat
berikutnya adalah, janda sebagai ahli waris bersama-sama dengan anak-anak
almarhum suaminya. Selanjutnya janda sebagai ahli waris yang kedudukannya sama
dengan ahli waris anak. Perkembangan selanjutnya janda sebagai ahli waris kelompok
keutamaan, yang menutup ahli waris lainnya.
Yurisprudensi Putusan MA No. 387K/Sip/1956 tanggal 29
Okt0ber 1958, Janda dapat tetap menguasai harta gono gini sampai ia meninggal
dunia atau kawin lagi. Puncaknya adalah Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No.
3190K/ Pdt/`985, tanggal 26 Oktober 1987, janda memiliki hak waris dari harta
peninggalan suaminya, dan haknya sederajad dengan anak kandungnya, jika tidak
memiliki anak, ia jadi penghalang ahli waris saudara suaminya, terhadap harta
gawan dan harta gono gini.
2.4. Prinsip-prinsip Jual Beli
Tanah
Jual beli tanah sah bila memenuhi syarat terang
dan tunai, hal ini ternyata secara konsisten dipegang dalam
yurisprudensi tentang jual beli tanah. Terang artinya transaksi peralihan hak
atas tanah harus disaksikan oleh Pejabat Umum. Tunai artinya jual beli tanah
hanya sah bila berlangsung adanya pembayaran lunas dan penyerahan tanah pada
saat yang sama. Prinsip Pelepasan Hak Sebagai Dasar Timbul atau Hilangnya Hak
Bukan Daluarsa Hukum adat tidak mengenal lembaga daluarsa, melainkan mengenal
apa yang disebut lembaga pelepasan hak (rechsververking), artinya bila
sebidang tanah dibiarkan, maka lama kelamaan haknya akan menyurut dan puncaknya
akan terlepas, seiring semakin renggangnya hubungan fisik antara pemilik dan
tanah yang bersangkutan demikian juga sebaliknya.
2.5. Hukum Pidana Adat.
Dalam sistem hukum adat, sesungguhnya tidak ada
pemisahan hukum pidana dengan hukum lain sebagaimana sistem hukum barat,
penjatuhan pidana semata-mata dilakukan untuk menetapkan hukumnya (verklaring
van recht) berupa sanksi adat (adatreaktie), untuk mengembalikan
hukum adat yang dilanggar. Hukum pidana adat mendapat rujukan berlakunya dalam
pasal 5 ayat 3 UU No. 1/Drt/1951.
Beberapa Yurisprudensi penting mengenai Hukum pidana adat adalah:
1)
Perbuatan melawan Hukum.
Misalnya PN Luwuk No. 27/Pid/ 1983, mengadili perkara
hubungan kelamin di luar perkawinan, hakim memutus terdakwa melanggar hukum
yang dihupo di wilayah banggai, Sulawesi Tengah, berdasarkan unsur pidana dalam
pasal 5 ayat 3 sub b UU Drt 1/ drt/1951, yang unsurnya adalah:
-
Unsur pertama, suatu perbuatan melanggar hukum yang
hidup;
-
Unsur kedua, perbuatan pelanggaran tersebut tidak ada
bandingannya dalam KUHP;
-
Unsur ketiga, perbuatan pelanggaran tersebut masih
tetap berlaku untuk kaula-kaula dan oarng-orang yang bersangkutan.
Putusan PT Palu No. 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984
menguatkan putusan PN Luwuk, dengan menambahkan bahwa, untuk memenuhi rasa
keadilan masyarakat, yang menganggap perbuatan tersebut adalah perbuatan pidana,
hakim memutuaskan terdakwa telah melakukan kejahatan bersetubuh dengan seorang
wanita di luar nikah. Mahkamah Agung, dengan putusan No. 666K/ Pid/ 1984
tanggal 23 februari 1985, perbuatan yang dilakukan terdakwa dikatagorikan
sebagai perbuatan zinah menurut hukum adat.
Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 3898K/Pdt/1989,
tanggal 19 Nopember 1992, mengenai pelanggaran adat serupa di daerah
Kafemenanu, mamun diajukan secara perdata dengan gugatan, intinya: Jika dua
orang dewasa melakukan hubungan kelamin atas dasar suka sama suka yang
mengakibatkan di perempuan hamil, dan si laki-laki tidak bertanggung jawab atas
kehamilan tersebut, harus ditetapkan suatu sanksi adat berupa pembayaran belis
(biaya atau mas kawin) dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan (di kenal
dengan nama Pualeu Manleu).
2)
Perbuatan melanggar hukum adat Logika Sanggraha di
Bali.
Dalam perkara Nomor 854K/Pid/1983 tanggal 30 Oktober
1984, Menurut Mahkamah Agung, seorang laki-laki yang tidur bersama dengan
seorang perempuan dalam satu kamar dan pada satu tempat tidur, merupakan bukti
petunjuk bahwa laki-laki tersebut telah bersetubuh dengan wanita itu.
Berdasarkan keterangan saksi korban dan adanya bukti petunjuk dari para
saksi-saksi lainnya, terdakwa telah bersetubuh dengan saksi korban sebagaimana
dimaksud dalam dakwaan subsider.
Mengenai dakwaan primer, Mahkamah Agung berpendirian
bahwa dakwaan ini tidak terbukti dengan sah , karena unsur barang dalam pasal
378 KUHP tidak terbukti de gan sah dan meyakinkan, dengan demikian maka
terdakwa harus dibebaskan datri dakwaaan primer ex pasal 378 KUHP. Berdasarkan
pertimbangan di atas Mahkamah Agung dalam diktum putusannya berbunyi:
a.
Membebaskan terdakwa dari dakwaan primer;
b.
Menyatakan terdakwa bersaklah terhadap dakwaan subsider
melakukan tindak pidana adat Logika Sanggraha;
c.
Menghukum terdakwa dengan hukuman penjara dua bulan;
Hukum adat pidana Logika Sanggraha di Bali Peswara Bali, merupakan suatu perbuatan seorang pria yang
memiliki unsur-unsur:
a.
bersetubuh dengan seorang gadis;
b.
Gadis tersebut menjadi hamil karenanya;
c.
Pria tersebut tidak bersedia mengawini gadis tersebut
sebagai istrinya yang sah.
Putusan Pengadilan negeri Mataram NO. 051/Pid.Rin/1988
tanggal 23 Maret 1988[27].
Pengadilan mempertimbangkannnya telah menyebut pelanggaran terhadap hukum adat
delik Nambarayang atau Nagmpesake. MA-RI Nomor 481 K/Pid/1986 tanggal 31
Agustus 1989 dari PN Ende Problematika organ tubuh wanita[28],
beberapa kali diterapkan ketentuan pasal 378 KUHP, menempatkan organ tubuh
peremuan sebagai barang. Solusinya diterapkan pasal 5 (3) b Undang-undang Drt
Nomor 1 Tahun 1951 LN. Nomor 9 Tahun 1950 tanggal 13 Januari 1951. Dalam kasus
serupa di pengadilan Negeri Medan Nomor 571/KS/1980 tanggal 5 Maret 1980 pernah
diterapkan ketentuan pasal 378 KUHP dan dikuatkan oleh PT Nomor 144/Pid/ 1983
tanggal 8 Agustus 1983. Barang ditafsirkan secara luas , sehingga barang
termasuk juga jasa. Barang sesuatu yang melekat bersatu pada diri seseorang (
kemaluan) juga termasuk pengertian barang, yang dalam bahasa Tapanuli dikenal
dengan ” Bonda” yang artinya ” barang” yang tidak lain adalah ” kemaluan” .
Sehingga bilama seorang gadis menyerahkan kehormatannya kepada pria, maka
samalah artinya gadis tersebut menyerahkan barang kepada pri tersebut. Dengan
penafsiran secara luas tersebut, maka telah terpenuhi unsur barang dalam pasal
378 KUHP. Dalam praktek kemudian banyak diikuti penegak hukum ( jaksa) Untuk
menjerat seorang pria yang berhasil menyetubuhi gadis yang akan dikawini,
tetapi akhirnya pria ingkar janji, dan gadis menjadi korban yang merana seumur
hidup.
Dalam putusan MA-RI Nomor 61 K/ Pid/ 1988 tanggal 15
Maret 1990[29],
berdasarkan perkara yang diputus pengadilan Negeri Pamekasan, penyelesaian
tidak dapat menggunakan ketentuan pasal 378 KUHP, melainkan dengan melalui
jalur delik adat zina ex pasal 5 (3) sub b Undang-undang Drt Nomor 1 Ytahun
1951 yang ada bandingannya dalam KUHP, yaitu pasal 381 KUHP, sehingga pria si
pelaku dapat dipidana. Sikap MA-RI terhadap persoalan tersebut sejak putusannya
Nomor 93K/Ke/1976, menjadi yurisprudensi tetap.
Penerapan delik pasal 293 KUHP Pria yang ingkar janji
kawin, MA menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan kejahatan:
” Penyesatan dengan sengaja , membujuk seorang yang belum dewasa untuk
melakukan perbuatan cabul, padahal tentang belum cukup umurnya itu dihitung
selayaknya harus diduganya”.
Dalam Kasus ini ada beberapa hal yang patut dicatat:
a.
Bahwa batasan umur ” belum dewasa ” Mahkamah Agung
tetap berpendirian seperti putusan sebelumnya, gadis yang belum mencapai umur
21 tahun; dalam kasus ini gadis tersebut berumur 20 tahun.;
b.
Unsur membujuk dalam kasus ini berupa : ” Janji
terdakwa untuk mengawini gadis setelah keinginanya bersetubuh tercapai, tidak
ditepainya;
c.
Kualifikasi dirumuskan oleh judex factie (pertama maupun banding) dengan kata-kata : ”
perempuan yang belum dewasa” sedangkan MARI merumuskan : ”seorang yang belum
dewasa”;
d.
Diktum Putusan PT dijumpai perumusan hukuman : Pidana
penjara selama 2, 5 tahun ( dua setengah tahun). Menururt psal 27 KUHP dengan
menyebut banyaknya hari, bulan dan tahun..”, maka seharusnya: ” dua tahun enam
bulan”.
.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Hukum adat yang dijadikan azas-azas atau landasan hukum
nasional adalah hukum adat yang sudah dimodernisir dalam arti sudah diperbaharui
sesuai dengan perkembangan zaman. Hukum adat menunjukkan sifat yang dinamis
sehingga mudah dapat berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman
karena mempunyai nilai-nilai yang universal maupun lembaga-lembaga hukum yang
dalam bentuk pernyataan modern ditemukan juga dalam hukum Internasional. Hal
ini berarti pula hukum adat bersifat terbuka yang dapat menerima
lembaga-lembaga hukum baru (hukum asing, hukum barat) sepanjang untuk
memperkaya dan mengembangkan hukum nasional, asal tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945.
2.
Dalam hukum adat, yurisprudensi hukum merupakan
keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap dalam bidang hukum adat, sarana
pembinaan hukum adapt sesuai cita-cita hukum, dan sekaligus dari yurisprudensi
dari masa ke masa dapat dilacak perkembangan – perkembangan hukum adat, baik
yang masih bersifat lokal maupun yang telah berlaku secara nasional.
Perkembangan-perkembangan hukum adat melalui yurisprudensi akan memberikan
pengetahuan tentang pergeseran dan tumbuhnya hukum adat, melemahnya hukum adat
lokal dan menguatnya hukum adat yang kemudian menjadi bersifat dan mengikat
secara nasional.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Abdulrahman,
S.H. 1984, Hukum Adat Menurut Perundang-undanga Republik Indonesia,
Cendana Press.
Achid Masduki, Peranan Hukum Adat Dalam Mengatasi
Masalah Pemilikan pada Masyarakat Industri, dalam , Hukum Adat Dan
Modernisasi Hukum, UII, Jogyakarta.
Dr. Khundzalifah Dimyati, S.H., M.Hum., 2004, Teoritisasi
Hukum: Studi Tentang Perkembangan Demikian Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Eman Suparman, ASAL USUL SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN
ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen), Esmi
Warassih Pujirahayu, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan
Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan)”; Pidato Pengukuhan
Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 14 April 2001.
Hilman Hadukusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia, Bandung : Mandar Maju.
I Gede A.B.Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia,
Perkembangan dari Masa Ke Masa, Citra Aditya Bakti.
Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah
Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam: Pluralisme Hukum,
Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford.
Ratno Lukito, 1998, Pergumulan Antara Hukum Islam
Dan Adat Di Indonesia, INIS, Jakarta.
Satjipto
Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indoensia, Kompas.
Satjipto Rahardjo, Penafsiran Hukum Yang Progresif,
dalam : Anthon Freddy Susanto, S.H.,M.H., Semiotika Hukum, Dekontruksi Teks
Menuju Progresifitas Makna, Bandung
: Efika Aditama.
Satjipto Rahardjo: Modernisasi Dan Perembangan
Kesadaran Hukum Masyarakat, Jurnal Masalah-masalah Hukum, FH Undip, No.1-6
Tahun X/ 1980.
Sudjito Sastrodiharjo, 1998, Hukum adat Dan
Realitas Kehidupan, dimuat dalam : Hukum Adat dan Modernisasi Hukum,
Fakultas Hukum –Universitas Islam Indonesia.
Sunaryati Hartono, 1998, Sumbangsih Hukum Adat
bagi Perkembangan Pembantukan Hukum Nasional dalam M.Syamsudin et al
Editor: Hukum Adat dan Mordernisasi Hukum, FH-UII.
Soepomo, Kedudukan Hukum Adat di Kemudian Hari, Jakarta : Pustaka Rakyat.
Soepomo, 1997, Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang Dunia II, Jakarta : Pradnjaparamita,
Cet 15.
Sorjono Soekanto, 1979, Masalah Kedudukan dan
Peranan Hukum Adat, Jakarta
: Academica,.
Van Vallenhoven, 1984, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Jambatan.
Varia Peradilan Nomor 39 Desember 1988.
VP Nomor 55
April 1990.
VP Nomor 65
Fanruari 1991.
B.
Website
Www.Google.com, sejarah hukum adat
[1] Keebet von Benda-Beckmann, Pluralisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis,
dalam: Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation,
Huma, Jakarta, 2006, Hal 21
[2] Satjipto Rahardjo, Modernisasi Dan Perembangan
Kesadaran Hukum Masyarakat, Jurnal Masalah-masalah Hukum, FH Undip, No.1-6
Tahun X/ 1980, Hal 18.
[3] Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indoensia,
Kompas, 2003, Hal. 23
[4] Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan dan Peranan
Hukum Adat, , Jakarta:
Academica, 1979, Hal. 14
[5] Hukum agama hanya dapat berlaku dan mengikat
masyarakat sepanjang tidak bertentangan dan telah diresepsi ke dalam hukum
adat.
[6] Ratno Lukito, Pergumulan
Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia, Jakarta : INIS, 1998, Hal. 38
[7] Ibid
[8] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2003, Hal. 8
[9] Van Vallenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1983, Hal. 14, lihat
juga Abdulrahman ,S.H, Hukum Adat menurut Perundang-undangan Republik Indonesia,
Cendana Press, 1984, Hal. 17.
[10] Abdulrahman , Hukum
Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, 1984, Hal.
18
[11] Soepomo, Kedudukan
Hukum Adat di Kemudian Hari, Jakarta
: Pustaka Rakyat, Hal. 24
[12] Op cit ,
Abdulrahman, Hal. 18.
[13] Ibid, Hal. 19
[14]Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang
Dunia II, Jakarta
: Pradnya Paramita,cet 15, 1997, Hal. 140,141
[15] Khundzalifah Dimyati, Teoritisasi Hukum: Studi
Tentang Perkembangan Hukum di Indonesia
1945 – 1990, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004, Hal. 22.
[16] Soerjono Soekanto menyebutnya sebagai “hukum lalu lintas”,
dalam : Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, Jakarta : Academica, 1979,
Hal. 24.
[17] Otje Salman, Rekonsepsualisasi
Hukum Adat, Hal. 30
[18] I Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa
Ke Masa, Citra Aditya Bakti, 2005, Hal. 40
[19] Ibid, Hal.
43
[20] Pasal 25 ayat 1: penguasa tidak akan mengikatkan
keuntungan atau kerugian kepada termasuk warga negara sesuatu golongan rakyat,
ayat 2: Perbedaan dalam kebutuhan masyarakat dan kebutuhan hukum golongan
rakyat akan diperhatikan.
[21] Sesuai prinsip dalam falsafah Jawa: manunggaling
kawulo-gusti.
[22] Trahing kusumo rembesing madu,
[23]
Diatur dalam Amandemen Kedua Undang-undang Dasar
1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000.
[24] Mengubah dalam hal hukum itu sudah tidak sesuai dengan
perkembangan masyarakat.
[25] Memperjelas dalam hal hukum itu dalam peraturan
perudang-udangan tidak jelas.
[26]
Menghapus dalam hal hukum itu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
masyarakat.
[27] Varia Peradilan Nomor 39 Desember 1988
[28] Varia Peradilan Nomor 55 April 1990
[29] Varia
Peradilan Nomor 65 Februari 1991
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT DALAM HUKUM POSITIF DAN YURISPRUNDENSI INDONESIA
Reviewed by thefilosofis
on
February 04, 2019
Rating:
No comments: