BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoPDY57TUih2Xh72VFjLz0UToBGjQ2s0M1nIX1VLOg8iUaQmFJ-acTOL0R1HjaJlSvF6Q-vJYyxtEwVuUYU7v9CXi3iMC9FyfQ4DgO-BMwYBzJT8x9YbGitT5icvtlbVhYRajq5sWQpupH/s200/P_20160715_111216_BF.jpg)
Aceh adalah salah satu daerah provinsi yang terdapat
keistimewaan dalam ruang lingkup negara Indonesia. Keistimewaan Aceh pada
awalnya diatur dalam UU No. 44 Tahun 1999. Dalam UU tersebut menyebutkan
beberapa keistimewaan Aceh salah satunya adalah dalam pelaksanaan syariat
islam.
Pengaturan mengenai pelaksanaan syariat islam di
Aceh kemudian dituangkan dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan berlakunya UU tersebut
penyebutan nama Aceh yang awalnya adalah Daerah Istimewa berubah menjadi
Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001 tersebut.
UU No. 18 Tahun 2001 tersebut mengatur tentang
eksistensi dari peradilan islam yang merupakan peralihan dari peradilan agama
yang selanjutnya disebut Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar’iyah dapat dan
berwenang memeriksa mengadili serta memutuskan perkara pelanggaran syariat
islam, yaitu dalam bidang muamalah, hokum keluarga, dan jinayah. Selama UU No.
18 Tahun 2001 berlaku telah dilakukan penerapan hokum islam di Aceh yaitu
pelaksanaan hukuman cambuk bagi pelanggar yang melanggar ketentuan syariat
islam. Pedoman bagi pengadilan untuk memutuskan berbagai perkara adalah hukum
dan adat. Dimaksud hukum dalam perundang-undangan di Aceh adalah syariat agama
Islam dengan memakai pedoman Alquran, Hadist dan Qias.[1]
UU No. 18 Tahun 2001 selanjutnya dihapus dan
digantikan dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam UU No.
11 Tahun 2006 tersebut lebih menegaskan tatanan pemerintahan Aceh yang
berlandaskan syariat islam serta kewenangan lainnya yang berhubungan dengan
pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya.[2]
Pelaksanaan hukuman cambuk didasarkan pada awalnya
dengan berlakunya beberapa qanun syariat islam yaitu Qanun No. 12 Tahun 2003,
Qanun No. 13 Tahun 2003 dan Qanun No. 14 Tahun 2003. Selain dengan berlakunya
ketiga qanun tersebut, untuk menjaga ketertiban masyarakat dalam pelaksanaan syariat
islam maka dibentuklah Wilayatul Hisbah berdasarkan ketentuan Qanun 11
Tahun 2002 tentang Pelaksanaan syariat Islam.
Prosesi pelaksanaan hukuman cambuk itu dilaksanakan di depan mesjid
biasanya setelah salat Jumat atau asar. Sebuah panggung ditata dengan bagus.
Setelah memberikan kata sambutan oleh beberapa orang pejabat setempat dan
seorang jaksa yang bertindak sebagai pemandu acara eksekusi membacakan biodata
terhukum. Orang yang dipanggil oleh jaksa untuk dieksekusi dipapah oleh anggota
wilayatul hisbah dibawa naik ke atas panggung, di belakang menyusul Jaksa
Penuntut Umum, yang membawa rotan sepanjang satu meter sebagai alat cambuk.[3]
Pelaksanaan suatu aturan hukum itu tidak hanya memberi efek jera secara
pisik terhadap si pelanggarnya tetapi juga psikologis. Hukuman tersebut dapat
membuat warga masyarakat sadar dan tidak berbuat salah serta melanggar syariat
Islam seperti yang diberlakukan.[4]
B.
Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas maka permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai
berikut:
1. Seperti
apakah pelaksanaan hukuman cambuk untuk menghukum pelanggar syariat islam di
Aceh?
2. Bagaimanakah
pelaksanaan hukuman cambuk dinilai dari perspektif Hak Asasi Manusia?
C.
Metode
Penulisan
Untuk memperoleh data yang diperlukan
dalam penulisan ini, dipergunakan metode penelitian kepustakaan (library
reseach), dengan mempelajari buku-buku literature, majalah-majalah, bulletin
dan jurnal, paper serta mempelajari peraturan perundang-undangan yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan dibahas.[5]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan
Hukuman Cambuk Untuk Menghukum Pelanggar Syariat Islam Di Aceh
Sebelum berlakunya
ketentuan syariat Islam
di Aceh berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, segala
pelanggaran syariat yang terjadi dihukum berdaarkan ketentuan yang berlaku dan
hukuman dari pelanggaran tersebut adalah hukuman cambuk. Hukuman cambuk berlaku
bagi personal dan badan hokum yang melanggar qanun syariat islam.
Pelaksanaan
hukuman cambuk pada awalnya dimulai pada saat pemerintahan Azwar Abu Bakar
sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur yaitu
Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Hukuman Cambuk Bagi Pelanggaran Syariat Islam. Ketentuan Peraturan Gubernur
tersebut menentukan mekanisme pelaksanaan hukuman cambuk serta atribut yang
digunakan sebagai alat cambuk.
Peraturan
Gubernur No. 13 Tahun 2003 tersebut terbit dikarenakan sudah diputuskannya
perkara pelanggaran syariat islam oleh Mahkamah Syar’iyah. Pelaksanaan hukuman
cambuk tersebut dilakukan terhadap pelanggar syariat islam berupa maisir,
khamar dan juga khalwat.[6]
Pergub ini sudah
diterapkan di Aceh sejak 10 Juni 2005 sebagai pengganti perda (qanun) untuk
melaksanakan Syariat Islam sesuai dengan UU 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan
Aceh dan UU 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Hukum cambuk yang akan
dilaksanakan di Bireuen itu merupakan sejarah baru baru Provinsi Aceh dalam
melaksanakan Syariat Islam.[7]
Hukum cambuk
merupakan jenis hukuman badan. Alat cambuk/ pemukul terbuat dari rotan
berdiameter 0,75 cm hingga 1 cm, panjang 1 meter. Pemukul tidak mempunyai ujung
ganda dan pada pangkalnya ada tempat pegangan. Untuk terpidana pria akan
dicambuk dalam posisi berdiri, sementara terpidana wanita dicambuk dalam posisi
duduk. Hal ini memberikan kemudahan bagi pelanggar syariat islam dalam
menjalani hukuman disesuaikan dengan kemampuan pelanggar tersebut.
Di antara yang
dipersoalkan adalah masa tahanan terpidana cambuk tidak mengurangi jumlah cambukan.
Selama persidangan terdakwa tidak didampingi penasihat hukum dan tidak ada
prosedur untuk mengajukan banding kepada mahkamah (pengadilan) yang lebih
tinggi. Hal tersebut merupakan kekurangan dari qanun yang mengatur syariat
islam yang tidak menyebutkan proses beracara di Mahkamah Syar’iyah dengan
jelas.
Humam Hamid
menyebutkan bahwa pelaksanaan syariat
Islam di Aceh saat ini sedang dalam proses pencarian bentuk ideal. Oleh karena
itu, jika salah menerapkannya dan lebih pada kepentingan politik, sehingga
menimbulkan kekhawatiran akan muncul kelompok perlawanan. Hal tersebut
disebabkan yang berjudi dan melakukan pelanggaran syariat islam pada umumnya
adalah orang kecil atau kelompok marginal.[8]
Tidak semua
kasus judi harus dihadapkan dengan hukuman cambuk. Menurut ketentuan qanun,
hukuman cambuk dapat pula diganti dengan hukuman penjara atau denda. Namun,
jika keadaannya seperti itu, maka hukuman cambuk tentu hanya berlaku untuk pelanggar
syariat islam yang tidak sanggup membayar denda. Sedangkan bagi yang punya
modal, akan memilih membayar denda daripada dipermalukan di depan umum.
Dalam
pelaksanaan syariat Islam, anggota Wilayatul Hisbah ini yang melakukan
pengawasan dan merazia pelanggar syariat Islam di Aceh. Dalam melaksanakan
tugas biasanya dibantu dari unsur kepolisian. Tugas dan kewenangan Wilayatul
Hisbah pada umumnya adalah sebagai lembaga pelaksana qanun syariat islam di
Aceh. Sehingga penerapan dan penegakan hokum berlandaskan syariat islam dapat
dilaksanakan secara kaffah.[9]
Pelaksaan
hukuman cambuk adalah sebagai hukuman yang dapat memberikan dampak secara fisik
dan mental, sehingga menimbulkan keengganan bagi masyarakat untuk melanggar
qanun syariat islam. Pelaksanaan hukuman cambuk juga didasari oleh putusan
Mahkamah Syar’iyah yang mempunyai kewenangan untuk memberikan putusan yang adil
sehingga tercipta rasa keadilan dalam masyarakat. Rasa keadilan tersebut
tercermin dari sikap para penguasa dalam menjaga stabilitas dan ketenteraman,
maksudnya yaitu kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau
penguasa haruslah berdasarkan hukum atau diatur oleh hukum. Hal ini menjamin
keadilan dan kebebasan dalam pergaulan kehidupan bagi warganya.[10]
B.
Pelaksanaan
Hukuman Cambuk Dinilai Dari Perspektif Hak Asasi Manusia
Penerapan
syariat islam yang diiringi dengan pelaksanaan hukuman cambuk bagi pelanggar
syariat islam tidak hanya mendapatkan dukungan dari beberapa pihak, tetapi juga
terdapat pertentangan yang menentang pelaksanaan hukuman cambuk dengan dasar
bahwa pelaksanaan hukuman cambuk merupakan pelanggaran HAM.
Humam Hamid
menyatakan bahwa konsekuensi yang paling berbahaya dalam pelaksanaan cambuk ini
adalah ketika orang berbicara syariat Islam maka akan terbayang hukum cambuk.
Padahal syariat Islam juga dapat diartikan dalam konteks yang lebih luas,
seperti clean government dan good government.[11]
Berdasarkan
pendapat Humam Hamid tersebut dapat dikatakan bahwa pelaksanaan hukuman cambuk
dikategorikan dalam 2 (dua) konteks yaitu konteks yang sempit merupakan konteks
pelaksanaan hukuman cambuk hanya dilihat berdasarkan adanya pelanggaran syariat
islam yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun badan hokum. Sedangkan
konteks yang luas adalah pandangan terhadap pelaksanaan hukuman cambuk yang
bertujuan untuk menciptakan suatu tatanan pemerintahan yang baik dan bersih
serta juga untuk menciptakan masyarakat madani.[12]
Pendapat yang
menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman cambuk hanya bagi kelompok marginal dan
rakyat kecil dikarenakan karena dengan diberlakukannya hukuman cambuk tersebut
berimbas pada rakyat kecil. Untuk menutupi kemungkinan tersebut maka pihak
Majelis Permusyawaratan Ulama dan Pemerintahan Aceh bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh membuat sebuah qanun yang dapat menjangkau bagi para pejabat
politik yang melakukan pelanggaran syariat islam, misalkan diberlakukannya
dengan qanun tentang korupsi.
Selain adanya
kekhawatiran terjadinya diskriminasi dalam pelaksanaan hukuman cambuk, juga dapat
terjadi pelanggaran HAM. Keberatan-keberatan yang ditujukan terhadap
pelaksanaan syariat Islam, bahkan ingin mempertentangkan dengan HAM harus
disikapi hati-hati.
Hal itu seperti
dikatakan oleh Kepala Dinas Syariat Islam NAD periode pertama, Alyasa’
Abubakar, pada dasarnya semua hukuman adalah siksaan untuk memberikan
penderitaan. Siksaan itu dianggap sah dijatuhkan apabila diputuskan oleh
pengadilan yang sah dan berwenang untuk itu dan dengan cara-cara yang sah pula,
sehingga putusan tersebut memenuhi keadilan masyarakat.[13]
Terhadap kondisi
tersebut, salah satu LSM lokal yang ada di Aceh, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM) menyatakan menolak dilakukannya eksekusi cambuk terhadap
para pelaku yang didasarkan kepada UU No 18 Tahun 2001, UU No 44 Tahun 1999 dan
Qanun No 13 tahun 2003. Rencana ekekusi hukuman tersebut menurut ELSAM
merupakan langkah mundur dari penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Hukuman
cambuk ini merupakan hukuman yang masuk kategori perlakuan atau hukuman lain
yang kejam tidak masnusiawi dan perbuatan yang merendahkan martabat manusia
yang selama ini dilarang dan diatur dalam berbagai legislasi nasional maupun
konvensi Internasional yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Mekanisme pelaksanaan hukuman cambuk di
Aceh berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh No. 10 Tahun 2005. Dalam Pergub
tersebut menentukan mekanisme pelaksanaan hukuman cambuk dan juga mengatur bentuk
dan ukuran dari cambuk tersebut. Hukuman cambuk diberikan pada pelanggar
syariat islam berdasarkan adanya putusan Mahkamah Syar’iyah. Tujuan utama dari
pelaksanaan hukuman cambuk adalah untuk menjamin rasa keadilan bagi masyarakat
dan menciptakan tatanan pemerintahan yang baik dan bersih berlandaskan syariat
islam.
2.
Pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh
selain banyak pihak yang mendukung juga banyak juga yang menolaknya. Pernyataan
tersebut didasari karena pelaksanaan hukuman cambuk dinilai bertentangan dengan
HAM dan juga bersifat diskriminasi. Dimana hanya kelompok marginal dan
masyarakat bawah saja yang terkena dampak dari hukuman cambuk tersebut, hal ini
dikarenakan banyaknya pelanggaran syariat islam terjadi pada komunitas
masyarakat bawah/miskin.
B.
Saran
1.
Mekanisme pelaksanaan hukuman cambuk
hendaknya diatur dengan jelas dalam aturan daerah yaitu qanun. Pemerintah dan
juga pihak Ulama merancang aturan khusus mengenai proses beracara pada Mahkamah
Syariah hingga pada tata cara pelaksanaan hukuman cambuk dengan jelas.
2.
Pemerintah dan pihak terkait hendaknya
memperhatikan hak-hak asasi yang melekat pada tiap pelanggar qanun syariat
islam. Hal ini didasarkan pada pelaksanaan hukuman cambuk bertujuan untuk
menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat. Pemerintah juga diharapkan membuat
aturan hokum lainnya menurut ketentuan syariat islam untuk menindak pelanggar
syariat islam untuk golongan atas/ pejabat. Sehingga pandangan tentang adanya
rasa diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat kecil tidak ada lagi,
sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 bahwa setiap orang punya hak sama didepan
hukum.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Abu Daud Busro
dan Abu Bakar Busro, Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta 1985
Alyasa’
Abubakar, Sekilas Syariat Islam di Aceh,
Dinas Syariat Islam NAD
Azyumardi Azra
dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan
Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
Kencana, Jakarta,
2006
Hartono, Apakah The Rule Of Law Itu? , Alumni, Bandung, 1976
Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh Dalam Tahun 1520-1575,
Manora, Medan
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2003
B.
Peraturan
Perundang-Undangan
UUD
1945
UU
No. 44 Tahun 1999
UU
No. 18 Tahun 2001
UU
No. 11 Tahun 2006
Qanun
No. 12 Tahun 2003
Qanun
No. 13 Tahun 2003
Qanun
No. 14 Tahun 2003
Peraturan
Gubernur Aceh No. 13 Tahun 2003
C.
Surat Kabar
Tabloid
Modus, Edisi 10 Tahun III/30 Juni-Juli 2005
Majalah
Aceh Kita, Edisi 018/Tahun II/ Juli 2005,
D.
Internet
http://www.solusihukum.com/kasus2.php?id=45
http://apakabar.ws/forums//viewtopic.php?f=1&t=27303&start=0
[1] Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh Dalam Tahun 1520-1575,
Manora, Medan,
hlm. 94
[2] Azyumardi Azra dan Komaruddin
HIdayat, Pendidikan Kewargaan (Civic
Education), Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Kencana, Jakarta, 2006, hlm 23
[3] Alyasa’ Abubakar, Sekilas Syariat Islam di Aceh, Dinas
Syariat Islam NAD, hlm. 2-3.
[4] Majalah Aceh Kita, Edisi
018/Tahun II/ Juli 2005, hlm. 8
[5] Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2003,
hlm 436
[6] Para pelaku pelanggaran Syariat
Islam yang sudah divonis bersalah dan menunggu eksekusi tersebut menurut
Monitoring legal Service ELSAM berjumlah 27 dari 8 berkas perkara yang divonis
oleh Mahkamah Syariah Kabupaten Bireun, karena melakukan pelanggaran syariat
Islam yakni perjudian (maisir). http://apakabar.ws/forums//viewtopic.php?f=1&t=27303&start=0,
diakses pada tanggal 12 Oktober 2009
[7] Anonimous, Pelaksanaan Hukuman Cambuk di Aceh,
http://www.solusihukum.com/kasus2.php?id=45 , diakses pada tanggal 13
Oktober 2009, menurut berita yang tertuang dalam situs ini menyebutkan
pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan pertama kali di Kabupaten Bireun dengan
kasus pelanggaran syariat islam berupa maisir (judi)
[8] Tabloid Modus, Edisi 10 Tahun
III/30 Juni-Juli 2005, hlm. 11.
[9] Konsep penegakan hokum saat ini
harus dikembangkan sesuai dengan cita-cita reformasi. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Sunaryati Hartono, hokum bukanlah tujuan akan tetapi merupakan
jembatan yang membawa tiap personal masyarakat menuju pada ide yang
dicita-citakan. Lihat dalam buku Hartono, Apakah
The Rule Of Law Itu? , Alumni, Bandung,
1976, hlm 7
[10] Abu Daud Busro dan Abu Bakar
Busro, Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia;
Jakarta 1985,
hlm 109
[11] Anonimous, Pelaksanaan…, Op., Cit,.
[12] Azyumardi Azra dan Komaruddin
Hidayat, Op., Cit. hlm 48
[13] Alyasa’ Abubakar, Op., Cit.
[14] http://apakabar.ws,.. Op., Cit. ELSAM berpendapat bahwa undang-undang
yang pertama yang dilanggar dengan adanya hukuman ini pertama, adalah
Konstitusi Republik Indonesia yakni Pasal 28 G ayat (2) UUD 1945 yang secara
tegas menyatakan "setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan martabat manusia .", kedua, UU No 39 tahun 1999
yakni Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan "setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya". Ketiga adalah UU No 5
tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Anti penyiksaan yakni Pasal 16.
PELAKSANAAN HUKUMAN CAMBUK SEBAGAI WUJUD IMPLEMENTASI PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
Reviewed by thefilosofis
on
February 04, 2019
Rating:
![PELAKSANAAN HUKUMAN CAMBUK SEBAGAI WUJUD IMPLEMENTASI PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoPDY57TUih2Xh72VFjLz0UToBGjQ2s0M1nIX1VLOg8iUaQmFJ-acTOL0R1HjaJlSvF6Q-vJYyxtEwVuUYU7v9CXi3iMC9FyfQ4DgO-BMwYBzJT8x9YbGitT5icvtlbVhYRajq5sWQpupH/s72-c/P_20160715_111216_BF.jpg)
No comments: