NEW PROMO

PELAKSANAAN HUKUMAN CAMBUK SEBAGAI WUJUD IMPLEMENTASI PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH


BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa daerah provinsi mempunyai kewenangan dalam dan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Hal ini bermakna bahwa ditiap daerah provinsi dalam negara kesatuan Republik Indonesia dapat membuat kebijakan bagi pembangunan daerah tanpa ikut campurnya pemerintahan pusat.
Aceh adalah salah satu daerah provinsi yang terdapat keistimewaan dalam ruang lingkup negara Indonesia. Keistimewaan Aceh pada awalnya diatur dalam UU No. 44 Tahun 1999. Dalam UU tersebut menyebutkan beberapa keistimewaan Aceh salah satunya adalah dalam pelaksanaan syariat islam.
Pengaturan mengenai pelaksanaan syariat islam di Aceh kemudian dituangkan dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan berlakunya UU tersebut penyebutan nama Aceh yang awalnya adalah Daerah Istimewa berubah menjadi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001 tersebut.
UU No. 18 Tahun 2001 tersebut mengatur tentang eksistensi dari peradilan islam yang merupakan peralihan dari peradilan agama yang selanjutnya disebut Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar’iyah dapat dan berwenang memeriksa mengadili serta memutuskan perkara pelanggaran syariat islam, yaitu dalam bidang muamalah, hokum keluarga, dan jinayah. Selama UU No. 18 Tahun 2001 berlaku telah dilakukan penerapan hokum islam di Aceh yaitu pelaksanaan hukuman cambuk bagi pelanggar yang melanggar ketentuan syariat islam. Pedoman bagi pengadilan untuk memutuskan berbagai perkara adalah hukum dan adat. Dimaksud hukum dalam perundang-undangan di Aceh adalah syariat agama Islam dengan memakai pedoman Alquran, Hadist dan Qias.[1]
UU No. 18 Tahun 2001 selanjutnya dihapus dan digantikan dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam UU No. 11 Tahun 2006 tersebut lebih menegaskan tatanan pemerintahan Aceh yang berlandaskan syariat islam serta kewenangan lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya.[2]
Pelaksanaan hukuman cambuk didasarkan pada awalnya dengan berlakunya beberapa qanun syariat islam yaitu Qanun No. 12 Tahun 2003, Qanun No. 13 Tahun 2003 dan Qanun No. 14 Tahun 2003. Selain dengan berlakunya ketiga qanun tersebut, untuk menjaga ketertiban masyarakat dalam pelaksanaan syariat islam maka dibentuklah Wilayatul Hisbah berdasarkan ketentuan Qanun 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan syariat Islam.
Prosesi pelaksanaan hukuman cambuk itu dilaksanakan di depan mesjid biasanya setelah salat Jumat atau asar. Sebuah panggung ditata dengan bagus. Setelah memberikan kata sambutan oleh beberapa orang pejabat setempat dan seorang jaksa yang bertindak sebagai pemandu acara eksekusi membacakan biodata terhukum. Orang yang dipanggil oleh jaksa untuk dieksekusi dipapah oleh anggota wilayatul hisbah dibawa naik ke atas panggung, di belakang menyusul Jaksa Penuntut Umum, yang membawa rotan sepanjang satu meter sebagai alat cambuk.[3]
Pelaksanaan suatu aturan hukum itu tidak hanya memberi efek jera secara pisik terhadap si pelanggarnya tetapi juga psikologis. Hukuman tersebut dapat membuat warga masyarakat sadar dan tidak berbuat salah serta melanggar syariat Islam seperti yang diberlakukan.[4]

B.        Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1.      Seperti apakah pelaksanaan hukuman cambuk untuk menghukum pelanggar syariat islam di Aceh?
2.      Bagaimanakah pelaksanaan hukuman cambuk dinilai dari perspektif Hak Asasi Manusia?

C.       Metode Penulisan
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan ini, dipergunakan metode penelitian kepustakaan (library reseach), dengan mempelajari buku-buku literature, majalah-majalah, bulletin dan jurnal, paper serta mempelajari peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas.[5]


















BAB II
PEMBAHASAN



A.       Pelaksanaan Hukuman Cambuk Untuk Menghukum Pelanggar Syariat Islam Di Aceh
Sebelum berlakunya ketentuan syariat Islam di Aceh berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, segala pelanggaran syariat yang terjadi dihukum berdaarkan ketentuan yang berlaku dan hukuman dari pelanggaran tersebut adalah hukuman cambuk. Hukuman cambuk berlaku bagi personal dan badan hokum yang melanggar qanun syariat islam.
Pelaksanaan hukuman cambuk pada awalnya dimulai pada saat pemerintahan Azwar Abu Bakar sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur yaitu Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Hukuman Cambuk Bagi Pelanggaran Syariat Islam. Ketentuan Peraturan Gubernur tersebut menentukan mekanisme pelaksanaan hukuman cambuk serta atribut yang digunakan sebagai alat cambuk.
Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2003 tersebut terbit dikarenakan sudah diputuskannya perkara pelanggaran syariat islam oleh Mahkamah Syar’iyah. Pelaksanaan hukuman cambuk tersebut dilakukan terhadap pelanggar syariat islam berupa maisir, khamar dan juga khalwat.[6]
Pergub ini sudah diterapkan di Aceh sejak 10 Juni 2005 sebagai pengganti perda (qanun) untuk melaksanakan Syariat Islam sesuai dengan UU 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Hukum cambuk yang akan dilaksanakan di Bireuen itu merupakan sejarah baru baru Provinsi Aceh dalam melaksanakan Syariat Islam.[7]
Hukum cambuk merupakan jenis hukuman badan. Alat cambuk/ pemukul terbuat dari rotan berdiameter 0,75 cm hingga 1 cm, panjang 1 meter. Pemukul tidak mempunyai ujung ganda dan pada pangkalnya ada tempat pegangan. Untuk terpidana pria akan dicambuk dalam posisi berdiri, sementara terpidana wanita dicambuk dalam posisi duduk. Hal ini memberikan kemudahan bagi pelanggar syariat islam dalam menjalani hukuman disesuaikan dengan kemampuan pelanggar tersebut.
Di antara yang dipersoalkan adalah masa tahanan terpidana cambuk tidak mengurangi jumlah cambukan. Selama persidangan terdakwa tidak didampingi penasihat hukum dan tidak ada prosedur untuk mengajukan banding kepada mahkamah (pengadilan) yang lebih tinggi. Hal tersebut merupakan kekurangan dari qanun yang mengatur syariat islam yang tidak menyebutkan proses beracara di Mahkamah Syar’iyah dengan jelas.
Humam Hamid menyebutkan bahwa  pelaksanaan syariat Islam di Aceh saat ini sedang dalam proses pencarian bentuk ideal. Oleh karena itu, jika salah menerapkannya dan lebih pada kepentingan politik, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan muncul kelompok perlawanan. Hal tersebut disebabkan yang berjudi dan melakukan pelanggaran syariat islam pada umumnya adalah orang kecil atau kelompok marginal.[8]
Tidak semua kasus judi harus dihadapkan dengan hukuman cambuk. Menurut ketentuan qanun, hukuman cambuk dapat pula diganti dengan hukuman penjara atau denda. Namun, jika keadaannya seperti itu, maka hukuman cambuk tentu hanya berlaku untuk pelanggar syariat islam yang tidak sanggup membayar denda. Sedangkan bagi yang punya modal, akan memilih membayar denda daripada dipermalukan di depan umum.
Dalam pelaksanaan syariat Islam, anggota Wilayatul Hisbah ini yang melakukan pengawasan dan merazia pelanggar syariat Islam di Aceh. Dalam melaksanakan tugas biasanya dibantu dari unsur kepolisian. Tugas dan kewenangan Wilayatul Hisbah pada umumnya adalah sebagai lembaga pelaksana qanun syariat islam di Aceh. Sehingga penerapan dan penegakan hokum berlandaskan syariat islam dapat dilaksanakan secara kaffah.[9]
Pelaksaan hukuman cambuk adalah sebagai hukuman yang dapat memberikan dampak secara fisik dan mental, sehingga menimbulkan keengganan bagi masyarakat untuk melanggar qanun syariat islam. Pelaksanaan hukuman cambuk juga didasari oleh putusan Mahkamah Syar’iyah yang mempunyai kewenangan untuk memberikan putusan yang adil sehingga tercipta rasa keadilan dalam masyarakat. Rasa keadilan tersebut tercermin dari sikap para penguasa dalam menjaga stabilitas dan ketenteraman, maksudnya yaitu kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa haruslah berdasarkan hukum atau diatur oleh hukum. Hal ini menjamin keadilan dan kebebasan dalam pergaulan kehidupan bagi warganya.[10]

B.        Pelaksanaan Hukuman Cambuk Dinilai Dari Perspektif Hak Asasi Manusia
Penerapan syariat islam yang diiringi dengan pelaksanaan hukuman cambuk bagi pelanggar syariat islam tidak hanya mendapatkan dukungan dari beberapa pihak, tetapi juga terdapat pertentangan yang menentang pelaksanaan hukuman cambuk dengan dasar bahwa pelaksanaan hukuman cambuk merupakan pelanggaran HAM.
Humam Hamid menyatakan bahwa konsekuensi yang paling berbahaya dalam pelaksanaan cambuk ini adalah ketika orang berbicara syariat Islam maka akan terbayang hukum cambuk. Padahal syariat Islam juga dapat diartikan dalam konteks yang lebih luas, seperti clean government dan good government.[11]
Berdasarkan pendapat Humam Hamid tersebut dapat dikatakan bahwa pelaksanaan hukuman cambuk dikategorikan dalam 2 (dua) konteks yaitu konteks yang sempit merupakan konteks pelaksanaan hukuman cambuk hanya dilihat berdasarkan adanya pelanggaran syariat islam yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun badan hokum. Sedangkan konteks yang luas adalah pandangan terhadap pelaksanaan hukuman cambuk yang bertujuan untuk menciptakan suatu tatanan pemerintahan yang baik dan bersih serta juga untuk menciptakan masyarakat madani.[12]
Pendapat yang menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman cambuk hanya bagi kelompok marginal dan rakyat kecil dikarenakan karena dengan diberlakukannya hukuman cambuk tersebut berimbas pada rakyat kecil. Untuk menutupi kemungkinan tersebut maka pihak Majelis Permusyawaratan Ulama dan Pemerintahan Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh membuat sebuah qanun yang dapat menjangkau bagi para pejabat politik yang melakukan pelanggaran syariat islam, misalkan diberlakukannya dengan qanun tentang korupsi.
Selain adanya kekhawatiran terjadinya diskriminasi dalam pelaksanaan hukuman cambuk, juga dapat terjadi pelanggaran HAM. Keberatan-keberatan yang ditujukan terhadap pelaksanaan syariat Islam, bahkan ingin mempertentangkan dengan HAM harus disikapi hati-hati.
Hal itu seperti dikatakan oleh Kepala Dinas Syariat Islam NAD periode pertama, Alyasa’ Abubakar, pada dasarnya semua hukuman adalah siksaan untuk memberikan penderitaan. Siksaan itu dianggap sah dijatuhkan apabila diputuskan oleh pengadilan yang sah dan berwenang untuk itu dan dengan cara-cara yang sah pula, sehingga putusan tersebut memenuhi keadilan masyarakat.[13]
Terhadap kondisi tersebut, salah satu LSM lokal yang ada di Aceh, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyatakan menolak dilakukannya eksekusi cambuk terhadap para pelaku yang didasarkan kepada UU No 18 Tahun 2001, UU No 44 Tahun 1999 dan Qanun No 13 tahun 2003. Rencana ekekusi hukuman tersebut menurut ELSAM merupakan langkah mundur dari penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Hukuman cambuk ini merupakan hukuman yang masuk kategori perlakuan atau hukuman lain yang kejam tidak masnusiawi dan perbuatan yang merendahkan martabat manusia yang selama ini dilarang dan diatur dalam berbagai legislasi nasional maupun konvensi Internasional yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia.[14]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Mekanisme pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh No. 10 Tahun 2005. Dalam Pergub tersebut menentukan mekanisme pelaksanaan hukuman cambuk dan juga mengatur bentuk dan ukuran dari cambuk tersebut. Hukuman cambuk diberikan pada pelanggar syariat islam berdasarkan adanya putusan Mahkamah Syar’iyah. Tujuan utama dari pelaksanaan hukuman cambuk adalah untuk menjamin rasa keadilan bagi masyarakat dan menciptakan tatanan pemerintahan yang baik dan bersih berlandaskan syariat islam.
2.      Pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh selain banyak pihak yang mendukung juga banyak juga yang menolaknya. Pernyataan tersebut didasari karena pelaksanaan hukuman cambuk dinilai bertentangan dengan HAM dan juga bersifat diskriminasi. Dimana hanya kelompok marginal dan masyarakat bawah saja yang terkena dampak dari hukuman cambuk tersebut, hal ini dikarenakan banyaknya pelanggaran syariat islam terjadi pada komunitas masyarakat bawah/miskin.

B.        Saran
1.      Mekanisme pelaksanaan hukuman cambuk hendaknya diatur dengan jelas dalam aturan daerah yaitu qanun. Pemerintah dan juga pihak Ulama merancang aturan khusus mengenai proses beracara pada Mahkamah Syariah hingga pada tata cara pelaksanaan hukuman cambuk dengan jelas.
2.      Pemerintah dan pihak terkait hendaknya memperhatikan hak-hak asasi yang melekat pada tiap pelanggar qanun syariat islam. Hal ini didasarkan pada pelaksanaan hukuman cambuk bertujuan untuk menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat. Pemerintah juga diharapkan membuat aturan hokum lainnya menurut ketentuan syariat islam untuk menindak pelanggar syariat islam untuk golongan atas/ pejabat. Sehingga pandangan tentang adanya rasa diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat kecil tidak ada lagi, sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 bahwa setiap orang punya hak sama didepan hukum.












DAFTAR PUSTAKA
A.       Buku
Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro,  Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia,  Jakarta 1985

Alyasa’ Abubakar, Sekilas Syariat Islam di Aceh, Dinas Syariat Islam NAD

Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Kencana, Jakarta, 2006

Hartono, Apakah The Rule Of Law Itu? , Alumni, Bandung, 1976

Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh Dalam Tahun 1520-1575, Manora, Medan

Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003

B.        Peraturan Perundang-Undangan
UUD 1945
UU No. 44 Tahun 1999
UU No. 18 Tahun 2001
UU No. 11 Tahun 2006
Qanun No. 12 Tahun 2003
Qanun No. 13 Tahun 2003
Qanun No. 14 Tahun 2003
Peraturan Gubernur Aceh No. 13 Tahun 2003

C.       Surat Kabar
Tabloid Modus, Edisi 10 Tahun III/30 Juni-Juli 2005
Majalah Aceh Kita, Edisi 018/Tahun II/ Juli 2005,

D.    Internet
http://www.solusihukum.com/kasus2.php?id=45
http://apakabar.ws/forums//viewtopic.php?f=1&t=27303&start=0


[1] Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh Dalam Tahun 1520-1575, Manora, Medan, hlm. 94
[2] Azyumardi Azra dan Komaruddin HIdayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Kencana, Jakarta, 2006, hlm 23
[3] Alyasa’ Abubakar, Sekilas Syariat Islam di Aceh, Dinas Syariat Islam NAD, hlm. 2-3.
[4] Majalah Aceh Kita, Edisi 018/Tahun II/ Juli 2005, hlm. 8
[5] Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm 436
[6] Para pelaku pelanggaran Syariat Islam yang sudah divonis bersalah dan menunggu eksekusi tersebut menurut Monitoring legal Service ELSAM berjumlah 27 dari 8 berkas perkara yang divonis oleh Mahkamah Syariah Kabupaten Bireun, karena melakukan pelanggaran syariat Islam yakni perjudian (maisir). http://apakabar.ws/forums//viewtopic.php?f=1&t=27303&start=0, diakses pada tanggal 12 Oktober 2009
[7] Anonimous, Pelaksanaan Hukuman Cambuk di Aceh, http://www.solusihukum.com/kasus2.php?id=45 , diakses pada tanggal 13 Oktober 2009, menurut berita yang tertuang dalam situs ini menyebutkan pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan pertama kali di Kabupaten Bireun dengan kasus pelanggaran syariat islam berupa maisir (judi)
[8] Tabloid Modus, Edisi 10 Tahun III/30 Juni-Juli 2005, hlm. 11.
[9] Konsep penegakan hokum saat ini harus dikembangkan sesuai dengan cita-cita reformasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sunaryati Hartono, hokum bukanlah tujuan akan tetapi merupakan jembatan yang membawa tiap personal masyarakat menuju pada ide yang dicita-citakan. Lihat dalam buku Hartono, Apakah The Rule Of Law Itu? , Alumni, Bandung, 1976, hlm 7
[10] Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro,  Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia; Jakarta 1985, hlm 109
[11] Anonimous, Pelaksanaan…, Op., Cit,.
[12] Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Op., Cit. hlm 48
[13] Alyasa’ Abubakar, Op., Cit.
[14] http://apakabar.ws,.. Op., Cit. ELSAM berpendapat bahwa undang-undang yang pertama yang dilanggar dengan adanya hukuman ini pertama, adalah Konstitusi Republik Indonesia yakni Pasal 28 G ayat (2) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan "setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia .", kedua, UU No 39 tahun 1999 yakni Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan "setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya". Ketiga adalah UU No 5 tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Anti penyiksaan yakni Pasal 16.

PELAKSANAAN HUKUMAN CAMBUK SEBAGAI WUJUD IMPLEMENTASI PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH PELAKSANAAN HUKUMAN CAMBUK  SEBAGAI WUJUD IMPLEMENTASI PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH Reviewed by thefilosofis on February 04, 2019 Rating: 5

No comments:

PROMO DISKON %

Powered by Blogger.